Label

Minggu, 25 Desember 2011

Prilaku Hubungan Sosial dan Solidaritas Antar Teman pada Prilaku Gaya Hidup Remaja

Standar Kompetensi : Menganalisis kelompok sosial dalam masyarakat multikulturalKompetensi Dasar    : Menganalisis perkembangan kelompok sosial dalam masyarakat multikultural

Pada masa remaja, terdapat banyak hal baru yang terjadi, dan biasanya lebih bersifat menggairahkan, karena hal baru yang mereka alami merupakan tanda-tanda menuju kedewasaan. Dari masalah yang timbul akibat pergaulan, keingin tahuan tentang asmara dan seks, hingga masalah-masalah yang bergesekan dengan hukum dan tatanan sosial yang berlaku di sekitar remaja.

Hal-hal yang terakhir ini biasanya terjadi karena banyak faktor, tetapi berdasarkan penelitian, jumlah yang terbesar adalah karena "tingginya" rasa solidaritas antar teman, pengakuan kelompok, atau ajang penunjukkan identitas diri. Masalah akan timbul pada saat remaja salah memilih arah dalam berkelompok.

Banyak ahli psikologi yang menyatakan bahwa masa remaja merupakan masa yang penuh masalah, penuh gejolak, penuh risiko (secara psikologis), over energi, dan lain sebagainya, yang disebabkan oleh aktifnya hormon-hormon tertentu. Tetapi statement yang timbul akibat pernyataan yang stereotype dengan pernyataan diatas, membuat remaja pun merasa bahwa apa yang terjadi, apa yang mereka lakukan adalah suatu hal yang biasa dan wajar.

Minat untuk berkelompok menjadi bagian dari proses tumbuh kembang yang remaja alami. Yang dimaksud di sini bukan sekadar kelompok biasa, melainkan sebuah kelompok yang memiliki kekhasan orientasi, nilai-nilai, norma, dan kesepakatan yang secara khusus hanya berlaku dalam kelompok tersebut. Atau yang biasa disebut geng. Biasanya kelompok semacam ini memiliki usia sebaya atau bisa juga disebut peer group.

Demi kawan yang menjadi anggota kelompok ini, remaja bisa melakukan dan mengorbankan apa pun, dengan satu tujuan, Solidaritas. Geng, menjadi suatu wadah yang luar biasa apabila bisa mengarah terhadap hal yang positif. Tetapi terkadang solidaritas menjadi hal yang bersifat semu, buta dan destruktif, yang pada akhirnya merusak arti dari solidaritas itu sendiri.

Demi alasan solidaritas, sebuah geng sering kali memberikan tantangan atau tekanan-tekanan kepada anggota kelompoknya (peer pressure) yang terkadang berlawanan dengan hukum atau tatanan sosial yang ada. Tekanan itu bisa saja berupa paksaan untuk menggunakan narkoba, mencium pacar, melakukan hubungan seks, melakukan penodongan, bolos sekolah, tawuran, merokok, corat-coret tembok, dan masih banyak lagi.

Secara individual, remaja sering merasa tidak nyaman dalam melakukan apa yang dituntutkan pada dirinya. Namun, karena besarnya tekanan atau besarnya keinginan untuk diakui, ketidak berdayaan untuk meninggalkan kelompok, dan ketidak mampuan untuk mengatakan "tidak", membuat segala tuntutan yang diberikan kelompok secara terpaksa dilakukan. Lama kelamaan prilaku ini menjadi kebiasaan, dan melekat sebagai suatu karakter yang diwujudkan dalam berbagai prilaku negatif.

Kelompok atau teman sebaya memiliki kekuatan yang luar biasa untuk menentukan arah hidup remaja. Jika remaja berada dalam lingkungan pergaulan yang penuh dengan "energi negatif" seperti yang terurai di atas, segala bentuk sikap, perilaku, dan tujuan hidup remaja menjadi negatif. Sebaliknya, jika remaja berada dalam lingkungan pergaulan yang selalu menyebarkan "energi positif", yaitu sebuah kelompok yang selalu memberikan motivasi, dukungan, dan peluang untuk mengaktualisasikan diri secara positif kepada semua anggotanya, remaja juga akan memiliki sikap yang positif. Prinsipnya, perilaku kelompok itu bersifat menular.

Motivasi dalam kelompok (peer motivation) adalah salah satu contoh energi yang memiliki kekuatan luar biasa, yang cenderung melatarbelakangi apa pun yang remaja lakukan. Dalam konteks motivasi yang positif, seandainya ini menjadi sebuah budaya dalam geng, barangkali tidak akan ada lagi kata-kata "kenakalan remaja" yang dialamatkan kepada remaja. Lembaga pemasyarakatan juga tidak akan lagi dipenuhi oleh penghuni berusia produktif, dan di negeri tercinta ini akan semakin banyak orang sukses berusia muda. Remaja juga tidak perlu lagi merasakan peer pressure, yang bisa membuat mereka stres.

Secara teori diatas, remaja akan menjadi pribadi yang diinginkan masyarakat. Tetapi tentu saja hal ini tidak dapat hanya dibebankan pada kelompok ataupun geng yang dimiliki remaja. Karena remaja merupakan individu yang bebas dan masing-masing tentu memiliki keunikan karakter bawaan dari keluarga. Banyak faktor yang juga dapat memicu hal buruk terjadi pada remaja.

Seperti yang telah diuraikan diatas, kelompok remaja merupakan sekelompok remaja dengan nilai, keinginan dan nasib yang sama. Contoh, banyak sorotan yang dilakukan publik terhadap kelompok remaja yang merupakan kumpulan anak dari keluarga broken home. Kekerasan yang telah mereka alami sejak masa kecil, trauma mendalam dari perpecahan keluarga, akan kembali menjadi pencetus kenakalan dan kebrutalan remaja.

Tetapi, masa remaja memang merupakan masa dimana seseorang belajar bersosialisasi dengan sebayanya secara lebih mendalam dan dengan itu pula mereka mendapatkan jati diri dari apa yang mereka inginkan.

Hingga, terlepas dari itu semua, remaja merupakan masa yang indah dalam hidup manusia, dan dalam masa yang akan datang, akan menjadikan masa remaja merupakan tempat untuk memacu landasan dalam menggapai kedewasaan.

Standar Isi Materi SMA

A. Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar
Kelas  X,  Semester 1 
Standar Kompetensi Kompetensi Dasar
1. Memahami perilaku keteraturan hidup sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat 1.1 Menjelaskan fungsi  sosiologi sebagai ilmu yang mengkaji hubungan masyarakat dan lingkungan
1.2 Mendeskripsikan nilai dan norma yang   berlaku dalam masyarakat
1.3 Mendeskripsikan proses interaksi sosial sebagai dasar pengembangan pola keteraturan dan dinamika kehidupan sosial
Kelas X,  Semester 2
Standar Kompetensi Kompetensi Dasar
2. Menerapkan nilai dan norma dalam proses pengembangan  kepribadian  2.1 Menjelaskan sosialisasi sebagai proses dalam pembentukan kepribadian
2.2 Mendeskripsikan terjadinya perilaku menyimpang dan sikap-sikap anti sosial
2.3 Menerapkan pengetahuan sosiologi dalam kehidupan bermasyarakat
Kelas XI, Semester 1
Standar Kompetensi Kompetensi Dasar
1. Memahami struktur sosial serta berbagai faktor penyebab konflik dan mobilitas social 1.1 Mendeskripsikan bentuk-bentuk struktur sosial dalam fenomena kehidupan
1.2 Menganalisis faktor penyebab konflik sosial dalam masyarakat
1.3 Menganalisis hubungan antara struktur sosial dengan mobilitas sosial

Kelas XI,  Semester 2
Standar Kompetensi Kompetensi Dasar
2.   Menganalisis kelompok sosial dalam masyarakat multikultural 2.1 Mendeskripsikan berbagai kelompok sosial dalam masyarakat multikultural
2.2 Menganalisis perkembangan kelompok sosial dalam masyarakat multikultural
2.3 Menganalisis keanekaragaman kelompok sosial dalam masyarakat multikultural
Kelas XII,  Semester 1
Standar Kompetensi Kompetensi Dasar
1. Memahami dampak perubahan  social 1.1 Menjelaskan proses perubahan sosial di masyarakat
1.2 Menganalisis dampak perubahan sosial terhadap kehidupan masyarakat
2. Memahami lembaga sosial 2.1 Menjelaskan hakikat lembaga sosial
2.2 Mengklasifikasikan tipe-tipe lembaga sosial
2.3 Mendeskripsikan peran dan fungsi lembaga sosial

Kelas XII, Semester 2
Standar Kompetensi Kompetensi Dasar
3. Mempraktikkan metode penelitian social 3.1 Merancang metode penelitian sosial  secara sederhana
3.2 Melakukan penelitian sosial secara sederhana
3.3 Mengkomunikasikan hasil penelitian sosial secara sederhana


B. Arah Pengembangan
Standar kompetensi dan kompetensi dasar menjadi arah dan landasan untuk mengembangkan materi pokok, kegiatan pembelajaran, dan indikator pencapaian kompetensi untuk penilaian. Dalam merancang kegiatan pembelajaran dan penilaian perlu memperhatikan Standar Proses dan Standar Penilaian.

Senin, 19 Desember 2011

Pengertian Media Pembelajaran


Oleh : Wijaya Kusuma
Kata media berasal dari kata medium yang secara harfiah artinya perantara atau pengantar. Banyak pakar tentang media pembelajaran yang memberikan batasan tentang pengertian media. Menurut EACT yang dikutip oleh Rohani (1997 : 2) “media adalah segala bentuk yang dipergunakan untuk proses penyaluran informasi”. Sedangkan pengertian media menurut Djamarah (1995 : 136) adalah “media adalah alat bantu apa saja yang dapat dijadikan sebagai penyalur pesan guna mencapai Tujuan pembelajaran”.

Selanjutnya ditegaskan oleh Purnamawati dan Eldarni (2001 : 4) yaitu :
“media adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan dari pengirim ke penerima sehingga dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian dan minat siswa sedemikian rupa sehingga terjadi proses belajar”.

a. Jenis – jenis Media pembelajaran
Banyak sekali jenis media yang sudah dikenal dan digunakan dalam penyampaian informasi dan pesan – pesan pembelajaran. Setiap jenis atau bagian dapat pula dikelompokkan sesuai dengan karakteristik dan sifat – sifat media tersebut. Sampai saat ini belum ada kesepakatan yang baku dalam mengelompokkan media. Jadi banyak tenaga ahli mengelompokkan atau membuat klasifikasi media akan tergantung dari sudut mana mereka memandang dan menilai media tersebut.
Penggolongan media pembelajaran menurut Gerlach dan Ely yang dikutip oleh Rohani (1997 : 16) yaitu :
1. Gambar diam, baik dalam bentuk teks, bulletin, papan display, slide, film strip, atau overhead proyektor.
2. Gambar gerak, baik hitam putih, berwarna, baik yang bersuara maupun yang tidak bersuara.
3. Rekaman bersuara baik dalam kaset maupun piringan hitam.
4. Televisi
5. Benda – benda hidup, simulasi maupun model.
6. Instruksional berprograma ataupun CAI (Computer Assisten Instruction).

Penggolongan media yang lain, jika dilihat dari berbagai sudut pandang adalah sebagai berikut :
1. Dilihat dari jenisnya media dapat digolongkan menjadi media Audio, media Visual dan media Audio Visual.
2. Dilihat dari daya liputnya media dapat digolongkan menjadi media dengan daya liput luas dan serentak, media dengan daya liput yang terbatas dengan ruang dan tempat dan media pengajaran individual.
3. Dilihat dari bahan pembuatannya media dapat digolongkan menjadi media sederhana (murah dan mudah memperolehnya) dan media komplek.
4. Dilihat dari bentuknya media dapat digolongkan menjadi media grafis (dua dimensi), media tiga dimensi, dan media elektronik.

b. Manfaat media pembelajaran
Media pembelajaran sebagai alat bantu dalam proses belajar dan pembelajaran adalah suatu kenyataan yang tidak bisa kita pungkiri keberadaannya. Karena memang gurulah yang menghendaki untuk memudahkan tugasnya dalam menyampaikan pesan – pesan atau materi pembelajaran kepada siswanya. Guru sadar bahwa tanpa bantuan media, maka materi pembelajaran sukar untuk dicerna dan dipahami oleh siswa, terutama materi pembelajaran yang rumit dan komplek.
Setiap materi pembelajaran mempunyai tingkat kesukaran yang bervariasi. Pada satu sisi ada bahan pembelajaran yang tidak memerlukan media pembelajaran, tetapi dilain sisi ada bahan pembelajaran yang memerlukan media pembelajaran. Materi pembelajaran yang mempunyai tingkat kesukaran tinggi tentu sukar dipahami oleh siswa, apalagi oleh siswa yang kurang menyukai materi pembelajaran yang disampaikan.
Secara umum manfaat media pembelajaran menurut Harjanto (1997 : 245) adalah :
1) Memperjelas penyajian pesan agar tidak terlalu verbalistis ( tahu kata – katanya, tetapi tidak tahu maksudnya)
2) Mengatasi keterbatasan ruang, waktu dan daya indera.
3) Dengan menggunakan media pembelajaran yang tepat dan bervariasi dapat diatasi sikap pasif siswa.
4) Dapat menimbulkan persepsi yang sama terhadap suatu masalah.

Selanjutnya menurut Purnamawati dan Eldarni (2001 : 4) yaitu :

1) Membuat konkrit konsep yang abstrak, misalnya untuk menjelaskan peredaran darah.
2) Membawa obyek yang berbahaya atau sukar didapat di dalam lingkungan belajar.
3) Manampilkan obyek yang terlalu besar, misalnya pasar, candi.
4) Menampilkan obyek yang tidak dapat diamati dengan mata telanjang.
5) Memperlihatkan gerakan yang terlalu cepat.
6) Memungkinkan siswa dapat berinteraksi langsung dengan lingkungannya.
7) Membangkitkan motivasi belajar
8) Memberi kesan perhatian individu untuk seluruh anggota kelompok belajar.
9) Menyajikan informasi belajar secara konsisten dan dapat diulang maupun disimpan menurut kebutuhan.
10) Menyajikan informasi belajar secara serempak (mengatasi waktu dan ruang)
11) Mengontrol arah maupun kecepatan belajar siswa.


c. Prinsip - prinsip memilih media pembelajaran
Setiap media pembelajaran memiliki keunggulan masing – masing, maka dari itulah guru diharapkan dapat memilih media yang sesuai dengan kebutuhan atau tujuan pembelajaran. Dengan harapan bahwa penggunaan media akan mempercepat dan mempermudah pencapaian tujuan pembelajaran.
Ada beberapa prinsip yang perlu diperhatikan dalam pemilihan media pembelajaran, yaitu :
1) Harus adanya kejelasan tentang maksud dan tujuan pemilihan media pembelajaran. Apakah pemilihan media itu untuk pembelajaran, untuk informasi yang bersifat umum, ataukah sekedar hiburan saja mengisi waktu kosong. Lebih khusus lagi, apakah untuk pembelajaran kelompok atau individu, apakah sasarannya siswa TK, SD, SLTP, SMU, atau siswa pada Sekolah Dasar Luar Biasa, masyarakat pedesaan ataukah masyarakat perkotaan. Dapat pula tujuan tersebut akan menyangkut perbedaan warna, gerak atau suara. Misalnya proses kimia (farmasi), atau pembelajaran pembedahan (kedokteran).
2) Karakteristik Media Pembelajaran. Setiap media pembelajaran mempunyai karakteristik tertentu, baik dilihat dari keunggulannya, cara pembuatan maupun cara penggunaannya. Memahami karakteristik media pembelajaran merupakan kemampuan dasar yang harus dimiliki guru dalam kaitannya pemilihan media pembelajaran. Disamping itu memberikan kemungkinan pada guru untuk menggunakan berbagai media pembelajaran secara bervariasi
3) Alternatif Pilihan, yaitu adanya sejumlah media yang dapat dibandingkan atau dikompetisikan. Dengan demikian guru bisa menentukan pilihan media pembelajaran mana yang akan dipilih, jika terdapat beberapa media yang dapat dibandingkan.
Selain yang telah penulis sampaikan di atas, prinsip pemilihan media pembelajaran menurut Harjanto (1997 : 238) yaitu:
Tujuan, Keterpaduan (validitas),Keadaan peserta didik, Ketersediaan,Mutu teknis, Biaya
Selanjutnya yang perlu kita ingat bersama bahwa tidak ada satu mediapun yang sifatnya bisa menjelaskan semua permasalahan atau materi pembelajaran secara tuntas.

Jumat, 16 Desember 2011

Karl Marx "Tentang Relasi Agama dan Perubahan Sosial"

Dalam kerangka memahami dan menganalisa hubungan antara agama dan perubahan sosial, menurut Karl Marx, maka terlebih dahulu perlulah melihat garis besar gagasan dan pandangannya tentang agama.
A. Agama Sebagai Alat Penindasan
Pemahaman terhadap pemikiran Marx mau tidak mau perlu memahami dan mengikuti pemikirannya dan memasukkan agama ke dalam suatu kerangka kehidupan bermasyarakat. Marx memang bahwa agama hanyalah merupakan suatu gejala sosial yang berupaya meyakinkan masyarakat kelas bawah yang kemudian berdampak pada kelanggengan kekuasaan kelas atas atau kelompok yang berkuasa. Dengan jelas ia katakan bahwa ”agama adalah candu rakyat.” Pernyataan Marx ini menyatakan dan memuat suatu serta sering diartikan sebagai tuduhan bahwa agama dengan menjanjikan kebahagiaan di alam sesudah kematian, di dunia lain dari kehidupan manusia, membuat orang miskin dan tertindas semakin tertindas serta menerima nasib mereka daripada memberontak terhadapnya.
Kenyataan yang demikian dengan jelas menggambarkan suatu warna atau gejaka ketertindasan. Penindasan yang dipahami oleh Marx adalah suatu perilaku eksploitatif-ekonomistik, di mana manusia dijadikan objek yang bisa dimanfaatkan untuk kepentingan tertentu. Marx yakin bahwa orang jatuh dalam kemiskinan karena tindakan-tindakan penindasan ”kelas atas, para pemilik modal” terhadap mereka yang dikategorikan dalam ”kelas bawah, para buruh”. Agama pada titik ini dijadikan sebagai tempat perlindungan yang aman bagi penguasa untuk melanggengkan kekuasaan mereka; agama menjadi instrumen kekuasaan. Dengan kata lain, kemiskinan itu disebabkan oleh struktur-struktur ekonomi masyarakat yang menindas, yang diciptakan oleh para kapitalis demi memperbesar modal mereka.
Berhadapan dengan struktur-struktur yang menindas dan memiskinan itu, orang tidak bisa berbuat lain kecuali pasrah dan akhirnya bersimpuh di hadapan Tuhan yang diciptakannya sendiri. Inilah yang disebut oleh Marx sebagai alienasi bahwa dalam agama alienasi itu terjadi karena manusia tunduk dan berada di bawah entitas suci yang diciptakannya sendiri. Dengan menciptakan Tuhan, dengan sendirinya manusia merendahkan martabatnya sendiri sehingga ia semakin asing dengan dirinya sendiri. Dengan demikian, agama tidak lain adalah instrumen penindas yang diciptakan manusia sendiri.
Berangkat dari perihal di atas, Marx kemudian menjelaskan bagaimana usaha agama untuk melestarikan diri. Agar tetap exist, agama akan melanggengkan kemiskinan, kesengsaraan, dan perbudakan. Sehingga baginya agama hanya akan berakhir ketika kondisi-kondisi yang diperlukan untuk survivenya –kesengsaraan, kekuasaan kelas, eksploitasi komoditas- dihilangkan. Lalu muncul pertanyaan mengapa setiap masyarakat mempunyai agama? Tanggapan Marx bahwa agama mendukung dan melayani kepentingan tertentu yang terkait dengan dominasi kelas dan penundukan kelas. Dia menyebutkan bahwa agama dari sudut sosialitasnya adalah rengekan golongan masyarakat yang tertindas.




B. Agama dan keterasingan Manusia
Marx sendiri meyakini bahwa masyarakat kapitalistik memang menawarkan terjadinya realisasi diri manusia, tetapi hal itu hanya terjadi bagi segelintir orang dan bukan bagi seluruh masyarakat. Marx kemudian menawarkan apa yang disebut dengan masyarakat komunis bahwa dalam masyarakat komunis setiap inidividu akan menikmati kehidupan yang aktif, kaya, dan bermakna; kendati hal itu berkait dengan hidup bersama, akan tetapi realisasi diri tetap dimungkinkan.
Marx juga mengatakan bahwa dalam agama tidak ada bentuk realisasi diri yang sesungguhnya. Hal itu terjadi karena di dalam agama, manusia hanya boleh tunduk dan tidak terbuka bagi dialog yang memberikan kemungkinan bagi setiap individu untuk mengekspresikan dirinya. Agama tidak mengembangkan jati diri manusia secara utuh, karena manusia hanya tergantung pada otoritas semu yang diciptakannya sendiri. Menurut Marx, agama yang hanya mampu menghukum pemeluknya adalah agama ciptaan kaum kapitalis untuk menindas orang-orang kecil dengan doktrin-doktrin kesalehan. Di dalam doktrin itu orang diharuskan hidup saleh dengan olah tapa yang berat dan menerima penderitaan dengan sukarela agar dapat memperoleh kemenangan di surga. Pada titik ini, Marx melihat bahwa hal tersebut hanya merupakan ciptaan masyarakat, ciptaan penguasa, untuk memperkuat hegemoni dan melanggengkan kekuasaannya terhadap masyarakat kecil yang dipimpinnya. Dengan demikian menjadi jelas bahwa bagi Marx, dalam tindakan serta praksis keagamaan semacam itu memungkinkan orang tergantung pada ciptaannya sendiri. Manusia tidak lagi otonom. Manusia dalam agama hanyalah orang-orang yang takluk di bawah otoritas orang yang lebih berkuasa daripadanya.
Lepas dari kritik terhadap gagasan Marx tentang agama sebagai proyeksi manusia belaka, menurut saya teori Marx tentang agama mengandung kebenaran. Kebenaran terori Marx terletak pada sifat menghibur, menyemangati dan memotivasi yang ada pada agama. Jika, menurut Marx, agama adalah proyeksi manusia yang mencari penghiburan dari kenyataan hidup yang represif maka dapat dikatakan agama sebagai tempat pelarian itu bersifat menghibur dan menyemangati kembali manusia yang mengalami keterpurukan nasib, bahkan andaipun penghiburan itu hanya ilusi dan tidak nyata.
Misalnya gerakan keagamaan di India. Gerakan keagamaan yang terjadi di India pada masa pra penjajahan Inggris dan pasca penjajahan Inggris merupakan perwujudan dari protes masyarakat kasta rendah atas ketidakadilan struktural yang disebabkan oleh sistem kasta. Gerakan keagamaan yang menuntut perubahan keadaan, khususnya terhadap sistem kasta, muncul sebagai penyimpulan artikulasi kepentingan kelompok kasta rendah yang menghendaki kesetaraan status sosial. Keadaan mayoritas masyarakat yang direpresi oleh elit kecil dalam masyarakat mendorong mayoritas masyarakat untuk ‘melarikan diri’ dalam gerakan keagamaan yang menghibur dan memberi harapan. Akan tetapi tidak seperti teori Marx. ‘Pelarian ke dalam agama’ tersebut tidak memperlemah masyarakat India pada waktu itu untuk menghadapi kenyataan hidup yang pahit. Pelarian pada agama justru menguatkan mereka untuk berjuang. Inilah kekecualian yang tidak dilihat oleh Marx dalam teorinya.
Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa agama di satu sisi, agama menurut analisa Marx, dapat secara terus menerus ‘mengamankan’ kelompok masyarakat kelas atas dan tidak mendatangkan perubahan sosial, sebab agama hanya melanggengkan kekuasaan masyarakat kelas atas. Dapatlah dikatakan bahwa dalam agama yang terus ‘menidurkan’ masyarakat kelas bawah tidak akan terjadi perubahan sosial. Hemat saya, yang dituntut atau yang menandakan adanya perubahan sosial adalah suatu kondisi kehidupan masyarakat di mana ada kesetaraan dan perubahan nasib serta tatanan hidup para anggotanya. Sementara itu, di sisi lain, struktur yang dibentuk oleh agama dapat pula melahirkan kesadaran akan ketertindasan dan memunculkan gerakan untuk memberontak atau melakukan perubahan terhadap struktur masyarakat yang tidak adil. Pendobrakan terhadap struktur dan tatanan masyarakat yang telah ‘mantap’ di tangan para penguasa memungkinkan suatu perubahan sosial.
Tidak hanya itu, pandangan Marx yang menyatakan bahwa agama melanggengkan hegemoni kelas atas memiliki kelemahan. Fenomen yang ada dan justru terjadi dewasa ini adalah bahwa orang yang beragama turut berpatisipasi dan terjun langsung ke lapangan dan secara bersama berupaya menyelesaikan segala persoalan yang dihadapi masyarakat. Agama sungguh menjadi suatu realitas sosial, yang hidup dalam dunia real manusia, dan bersama dengan pemeluknya bergelut dengan kemelut real kemasyarakatan. Maksudnya bahwa agama sungguh berpijak pada dunia real, dengan kompleksitasnya. Di situlah agama tampil sebagai instrumen pembebasan dan bukan sebagai bagian dari penindasan yang mempermiskin dan mengasingkan manusia dari diri dan dunia realnya.
Anggapan bahwa agama dapat menjadi salah satu faktor yang memicu konflik dalam masyarakat ala Marx tidak seluruhnya benar, sebab pada dasarnya agama mengajarkan dan mewartakan perdamaian, kehidupan yang harmonis demi kebaikan bersama. Ini berarti bahwa agama memberikan sumbangan besar bagi masyarakat yang memungkinkan masyrakat tersebut dapat hidup secara baik serta berkembang dalam kedamaian. Dengan demikian, bila penghayatan ajaran agama dijalankan secara baik dan benar maka konflik maupun pertentangan sedapat mungkin dihindari dan tidak mungkin terjadi. Lebih dari itu, kebenaran yang diajarkan agama mendapat tempat perwujudan ajarannya pada dunia masyarakat yang real. Agama berupaya untuk menerjemahkan pandangannya dalam masyarakat yang nyata. Dari sinilah kesetaraan dan keharmonisan dapat terjadi asalkan para penganutnya mau dan setia melaksanakan ajaran agama dengan baik dan benar. Sehingga agama bukanlah menjadi instrumen penindas, alat pelanggeng kekuasaan, melainkan sebagai lembaga yang membangun dan menghidupkan masyarakat bersama menuju bonum commune.


Agama dalam Teori Primitive Classification Marcell Mauss dan Emile Durkheim

Marcel Mauss merupakan keponakan dari Emile Durkheim yang sangat terpengaruh oleh pandangan-pandangannya mengenai masyarakat. Mauss meneliti tentang kehidupan Eskimo meskipun dia sendiri belum pernah mengunjunginya, tetapi melalui berbagai literatur yang ada. Mauss melihat ritual-ritual yang dilakukan oleh kelompok-kelompok Eskimo yang ia bagi dalam morfologi musim panas dam morfologi musim dingin. Menurut Mauss, apa yang mereka lakukan mempererat integrasi di antara mereka.
Emile Durkheim merupakan pencetus sosiologi modern asal Prancis. Durkheim diingat karyanya tentang masyarakat primitif (non Barat) dan esainya Klasifikasi Primitif bersama Mauss. Durkheim meneliti peranan agama dan mitologi dalam membentuk pandangan dunia dan kepribadian manusia dalam masyarakat yang sangat mekanis.
Apa hubungannya dengan fakta sosial?
Durkheim berpendapat bahwa subyek kajian sosiologi harus dipersempit pada sebuah bidang yang dapat diuraikan guna membedakan sosiologi dengan studi sosial yang lain. Untuk itu, Durkheim mengusulkan bahwa harus membatasi sosiologi pada kajian analisis tentang fakta social yang ia jelaskan dalam dua cara.
Definisi pertama yang ia berikan pada fakta sosial adalah setiap cara atau arah tindakan yang mampu menggerakkan pada individu dari tekanan eksternal, seperti sistem keuangan, bahasa, dan tindakan yang lain. Kemudian ia menambahkan, setiap tindakan umum di dalam masyarakat. Hal tersebut meliputi institusi agama, tradisi kultural, dan kebiasaan regional. Durkheim dalam definisi di ini menggunakan paksaan sosial untuk mengidentifikasi alasan di balik tindakan-tindakan yang kemudian menjadi fakta sosial. Tingkat paksaan tersebut akan terasa berbeda-beda. Paksaan sosial ini memegang kekuatan yang memaksa di atas individu.
Definisi kedua Durkheim mengenai fakta sosial mengambil pendekatan yang lebih umum terhadap fakta sosial. Ini mengacu pada berbagai tindakan atau pandangan umum di dalam masyarakat sepanjang memenuhi ketentuan bahwa fakta tersebut jelas-jelas tidak tergantung pada individu. Fenomena tersebut juga mempunyai efek yang memaksa.
Apa hubungannya dengan agama?
Emile Durkheim sebagai salah seorang Sosiolog abad ke-19, menemukan hakikat agama yang pada fungsinya sebagai sumber dan pembentuk solidaritas mekanis. Ia berpendapat bahwa agama adalah suatu pranata yang dibutuhkan oleh masyarakat untuk mengikat individu menjadi satu-kesatuan melalui pembentukan sistem kepercayaan dan ritus. Melalui simbol-simbol yang sifatnya suci. Agama mengikat orang-orang kedalam berbagai kelompok masyarakat yang terikat satu kesamaan. Durkheim membedakan antara solidaritas mekanis dengan solidaritas organis. Dengan konsep ini ia membedakan wujud masyarakat modern dan masyarakat tradisional. Ide tentang masyarakat adalah jiwa dari agama. Berangkat dari kajiannya tentang paham totemisme masyarakat primitif di Australia, Durkheim berkesimpulan bahwa bentuk-bentuk dasar agama meliputi :
1. Pemisahan antara `yang suci’ dan `yang profane’
2. Permulaan cerita-cerita tentang dewa-dewa
3. Macam-macam bentuk ritual.
Menurut teori Durkheim, Agama bukanlah `sesuatu yang di luar’, tetapi `ada di dalam masyarakat’ itu sendiri, agama terbatas hanya pada seruan kelompok untuk tujuan menjaga kelebihan-kelebihan khusus kelompok tersebut. Oleh karena itu, agama dengan syariatnya tidak mungkin berhubungan dengan seluruh manusia. Kritikan lain yang dikemukakan oleh Emile Durkheim; bahwa Animisme dan Fetishisme yang bersifat individualistik, tidak dapat menjelaskan agama sebagai sebuah fenomena sosial dan kelompok.
Menurut Durkheim, Intelektualisme yang meyakini bahwa jelmaan pertama kali agama dalam bentuk kelompok adalah ritual nenek moyang, yang menyembah para ruh nenek moyang mereka. Kedudukan agama di sini sama dengan kedudukan kekerabatan, kesukuan, dan komunitas-komunitas lain yang masih diikat dengan nilai-nilai primordial. (Sri Fitri Ana, Antropologi, Universitas Indonesia).
IV. Emile Durkheim: Tentang Relasi Agama dan Perubahan Sosial
Agama, menurut Durkheim, didefinisikan sebagai suatu “sistem kepercayaan dan praktek yang telah dipersatukan yang berkaitan dengan hal-hal yang kudus, kepercayaan-kepercayaan dan praktek-praktek yang bersatu menjadi suatu komunitas moral yang tunggal.” Definisi ini menyiratkan dua unsur yang penting, yang menjadi syarat adanya agama. Prasyarat itu adalah “sifat kudus” agama dan “praktek-praktek ritual” agama.
Bertitik tolak dari pengertian atau pengartian yang dikatakan sebelumnya, agama dengan demikian tidak serta merta melibatkan konsep adanya suatu makhluk supranatural. Pada titik ini dapat kita lihat bahwa agama bukan semata-mata ditilik dari substansi isinya, melainkan dari bentuknya, yang melibatkan cirinya yang bersifat kudus dan yang terungkapkan dalam “praktek-praktek ritual” agama. Durkheim juga melihat agama sebagai sesuatu yang selalu memiliki hubungan dengan masyarakatnya, dan memiliki sifat yang historis.

a. ‘Sifat Kudus’ Agama
‘Sifat kudus’ yang dimaksud Durkheim dalam kaitannya dengan pembahasan agama tidak dalam artinya yang bersifat teologis, melainkan sosiologis. Sifat kudus itu dapat diartikan sebagai sesuatu yang “kudus” itu “dikelilingi oleh ketentuan-ketentuan tata cara keagamaan dan larangan-larangan, yang memaksakan pemisahan radikal dari yang duniawi.” Sifat kudus ini dibayangkan sebagai suatu kesatuan yang berada di atas segala-galanya. Durkheim menyambungkan lahirnya pengudusan ini dengan perkembangan masyarakat. Durkheim kemudian menjelaskan fenomena totemisme untuk menjelaskan fenomen keagamaan. Di dalam totemisme, ada tiga obyek yang dianggap kudus, yaitu totem, lambang totem dan para anggota suku itu sendiri. Pada totemisme Australia, benda-benda yang berada di dalam alam semesta dianggap sebagai bagian dari kelompok totem tertentu, sehingga memiliki tempat tertentu di dalam organisasi masyarakat. Karena itu semua benda di dalam totemisme Australia memiliki sifat yang kudus. Totemisme Australia tidak memisahkan secara jelas antara obyek-obyek totem dengan kekuatan kudusnya. Lain halnya dengan Totemisme di Amerika Utara dan Melanesia. Di wilayah ini, kekuatan kudus itu jelas terlihat berbeda dari obyek-obyek totemnya, dan disebut berdasarkan nama yang disematkan padanya.
Totemisme yang ada pada masyarakat tertentu, oleh Durkheim, dikembangkan dan dijadikan suatu titik pijak untuk menjelaskan fenomena moralitas yang ada dalam masyarakat. Ia menyatakan bahwa ‘Sifat kudus’ itu juga terdapat dalam aturan moral. Sebuah aturan moral hanya bisa hidup apabila ia memiliki sifat “kudus”, sehingga setiap upaya untuk menghilangkan sifat “kudus” dari moralitas akan menjurus kepada penolakan dari setiap bentuk moral. Dengan demikian, “kekudusan”-pun merupakan prasyarat bagi suatu aturan moral untuk dapat hidup di dalam masyarakat. Hal tersebut menunjukkan bahwa “kekudusan” suatu obyek tidak tergantung dari sifat-sifat obyek itu an sich, tetapi tergantung dari pemberian sifat “kudus” itu oleh masyarakatnya.

b. Ritual Agama
Agama juga selalu melibatkan ritual tertentu. Praktek ritual ini ditentukan oleh suatu bentuk lembaga yang pasti. Ada dua jenis praktek ritual yang terjalin dengan sangat erat satu sama lain. Pertama, praktek ritual yang negatif, yang berwujud dalam bentuk pantangan-pantangan atau larangan-larangan dalam suatu upacara keagamaan. Praktek-praktek ritual yang negatif itu memiliki fungsi untuk tetap membatasi antara yang kudus dan yang duniawi. Pemisahan ini menjadi dasar dari eksistensi “kekudusan” itu. Praktek tersebut menjamin agar kedua dunia, yaitu yang “kudus” dan yang “profan” tidak saling mengganggu atau menekan satu sama lain. Contohnya adalah liburan pada hari raya besar keagamaan tertentu. Kedua, praktek ritual yang positif. Hal ini berwujud dalam bentuk upacara-upacara keagamaan itu sendiri dan merupakan intinya. Adapun praktek-praktek ritual yang positif -yang adalah upacara keagamaan itu sendiri-, berupaya menyatukan diri dengan keimanan secara lebih khusuk, dan dengan demikian berfungsi untuk memperbaharui tanggung-jawab seseorang terhadap ideal-ideal keagamaan.

c. Fungsi Agama
Teori keagamaan Emile Durkheim menyatakan fungsi agama sebagai pemersatu masyarakat. Agama bagi Durkheim adalah sebuah kekuatan kolektif dari masyarakat yang mengatasi individu-individu dalam masyarakat. Setiap individu, sebaliknya, merepresentasikan masyarakat dalam agama, yaitu melalui ketaantan kepada aturan-aturan keagamaan, misalnya dengan menjalankan ritual-ritual keagamaan. Agama, dengan demikian, menjadi tempat bersatunya individu-individu, bahkan ketika terjadi banyak perbedaan antara individu karena agama sebagai kekuatan kolektif masyarakat bersifat mengatasi kekuatan-kekuatan individual. Selain itu, agama juga turut menjawab masalah, persoalan dan kebutuhan hidup pribadi atau individu tertentu. Dalam agama, individu merasa dikuatkan dalam menghadapi derita, frustrasi, dan kemalangan. Melalui upacara keagamaan, individu dapat membangun hubungan yang khusus dengan Yang Ilahi. Ritus-ritus itu memberi jaminan akan hidup, kebebasan dan tanggung jawab atas nilai-nilai moral dalam masyarakat. Tidak hanya itu, agama juga berfungsi untuk menjalankan dan menegakkan serta memperkuat perasaan dan ide kolektif yang menjadi ciri persatuan masyarakat. Dengan demikian menjadi jelas bahwa agama dapat menjadi kekuatan yang menyatukan masyarakat, bahkan jika terjadi banyak perbedaan antar individu atau golongan, apalagi jika terdapat artikulasi kepentingan-kepentingan yang membuahkan ideologi bersama. Dalam hal menyatukan masyarakat ritual-ritual keagamaan mempunyai tempat yang vital. Melalui ritual-ritual keagamaan individu-individu dalam masyarakat disatukan oleh kekuatan moral dan sentimen moral maupun sosial .
Dengan berdasar pada pandangan Emile Durkheim di atas, dapatlah ditarik suatu kesimpulan bahwa, agama dengan segala ritual yang ada dan hidup serta yang dijalankan oleh para pemeluknya sesungguhnya dapat berdampak pada perubahan sosial dan membentuk tatanan masyarakat yang terintegrasi. Fenomena agama dalam dari perspektif Durkheim menjadi sangat positif yang mana melekatkan agama dengan penciptaan suatu masyarakat yang harmonis dan yang mengutamakan serta membangkitkan semangat kebersamaan dalam perkembangan dan perubahan kehidupan bermasyarakat.
v.Penutup
Agama memang tidak dapat bertahan jika agama tidak berani menggaungkan suaranya dan mempunyai disposisi yang memihak masyarakat. Faktanya mayoritas masyarakat adalah orang biasa, ‘tidak mempunyai kekuatan’ yang didominasi oleh sekelompok kecil saja kalangan elit. Agama dengan demikian tidak dapat dipandang melulu sebagai tempat pelarian kaum terdesak dan akan hilang dengan membaiknya keadaan masyarakat dengan alasan: Pertama, dari pengalaman gerakan keagamaan, di mana suatu wilayah kekuasaan hanya dihidupi oleh kaum elit atau masyarakat kelas atas, kita mengetahui bahwa justru agama adalah sumber motivasi dan kekuatan yang membebaskan orang dari keadaan tertindas menuju keadaan merdeka. Kecenderungan merosotnya penghayatan keagamaan dalam masyarakat mapan menjadi petunjuk bahwa agama harus senantiasa memperbaharui dan membenahi diri agar ‘pesan kenabiannya’ tetap dapat diterima masyarakat dari berbagai jaman. Agama dengan demikian menjadi sarana bagi tercapainya bonum commune. Kedua, agama sebagai kekuatan pemersatu masyarakat justru amat dibutuhkan saat ini dimana nilai-nilai kolektivitas atau kebersamaan digerus bahkan dihancurkan oleh nilai-nilai individualis-pragmatis. Agama diperlukan agar masyarakat tidak terpecah belah dalam aneka kepentingan yang tidak dapat diartikulasikan bersama. Norma-norma dan nilai-nilai agama hendaknya dapat menjadi pegangan dan petunjuk bagi kehidupan bersama yang lebih harmonis. Lebih dari itu, agama hendaknya memelopori masyarakat yang terbuka terhadap perubahan. Sebab agama dan nilai-nilai sejati hanya dan justru akan mempertahankan diri apabila mampu menghadapi dan menyikapi perubahan sosial secara positif.

Selasa, 06 Desember 2011

Kewirausahaan

Kelompok kami terdiri dari atas 5 orang.Kami mendapat tugas untuk mata kuliah kewirausahaan.Tugas kami adalah berlatih berwirausaha dengan cara berjulan kaos.Satu angkatan kami mendapat tugas yang sama.Jurusan Sosiologi dan Antropologi mendapat kesempatan bagi mahasiswanya untuk berwirauasaha ini sebagai wujud nyata bagi mahasiswa untuk praktek langsung pada mata kuliah kewirausahaan yang  diampu oleh Drs.M.Solehatul Mustofa, M.A .
           
Setiap  kelompok mendapat kaos masing-masing sebanyak 5 kaos.Untuk cara kami dalam  penjualan kaos, tekniknya adalah kami berjualan bersama-sama sebagai bentuk  belajar berwirusaha bersama.Dalam kurun waktu 3 minggu kami berjualan kaos banyak hal yang kami alami,pengalaman berwirausa berjualan kaos ini ternyata tidak semudah yang kami bayangkan,ada saja hal yang tidak mengenakan yang kami rasakan.Misalnya ketika kami menawarkan kaos ini kepada calon pembeli banyak yang mengomentari seperti bahan kaos yang kurang bagus dan harga yang terlalu mahal.Selain itu ada pula calon pembeli yang benar-benar tidak mau membeli padahal kami sudah menawarkannya.   
           
Kami berjualan  di sekitar kampus FIS,kami menawarkan pada mahasiswa setelah selesai kuliah dimana banyak mahasiswa yang sedang duduk santai kampus.Selain itu kami juga menawarkan kepada Bapak Ibu dosen.Kami langsung menawarkan kaos ini kepada calon pembeli dengan sedikit merayu calon pembeli agar mau membeli kaos yang kami jual.Kami juga menceritakan keunggulan tenatng kaos ini.
           
Sasaran kami adalah mahasiswa FIS dan masyarakat umum sekitar Unnes.Dari sekian mahasiswa yang kami tawari kaos kebanyakan kurang suka terhadap kaos ini karena bahan yang kurang bagus,model yang tidak pas,warna yang mencolok marah dan hitam,dan harga yang tidak pas dengan kantong mahasiswa.Oleh karena itu kami mencoba menawarkan kepada temen-teman kos dan mencoba menawarkan kepada masayarakat umum.Setelah mencoba menawari kesana-kemari akhirnya kaos kami terjulal sebanyak dua buah dengan harga Rp47.500,- kepada masyarakat sekitar Unnes.Ternyata masyarakat umum lebih tertarik kepada kaos ini ketimbang mahasiswanya sendiri.
           


Pengalaman berwirausaha dengan berjualan kaos ini sangat berarti karena kami baru mnyadari bahwa dalam mencari uang itu tidak semudah membalikan telapak tangan,harus penuh dengan perjuangan dan kerja keras.Pelajaran yang kami petik dari pengalaman ini adalah dalam berwirausaha modal utama yakni diri kita sendiri,harus didukung dengan niat dan mau berusaha agar kaos ini dapat terjual meskipun hanya 2 buah saja.Selama berjualan kami tidak boleh malu,harus mau dapat kritikan dan komentar dari calon pembeli dan lain-lain.

Kesimpulan kami bahwa dalam berwirausaha kaos ini  hal utama yang harus ada adalah niat dan usaha kemudian didukung dengan kerja keras pantang menyerah dan kesabaran yang lebih dalam menghadapi calon pembeli.Tidak selamanya berwirausaha bermodalkan uang karena diri kita sendiri pun merupakan modal utama dalam berwirausaha.























o






LAPORAN PENJUALAN KAOS
MATA KULIAH KEWIRAUSAHAAN
Dosen Pengampu :
Drs.Moh.Solehatul Mustofa,M.A



Di susun oleh  :
Galih Mahardika C.P(3401409065)



JURUSAN
SOSIOLOGI DAN ANTROPOLOGI
2011

Sosiologi Pendidikan

       A.PENDAHULUAN
       1.Latar Belakang
Memasuki era globalisasi dan modernisasi dewasa ini, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi mengalami perkembangan pesat. Tuntutan masyarakat semakin kompleks dan persaingan sangat ketat. Hal ini harus didukung dengan Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas. Untuk meningkatkan Sumber Daya Manusia (SDM) dilakukan melalui jalur pendidikan. Pendidikan merupakan faktor pendukung utama terbentuknya manusia yang produktif dan kreatif guna terciptanya masyarakat yang sejahtera dan makmur serta memajukan bangsa dan negara. Dalam arti luasnya, pendidikan mengandung pengertian mendidik, membimbing, mengajar, dan melatih setiap individu.
Tujuan pendidikan nasional berdasarkan UU RI NO. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, sebagai berikut: Pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Tujuan pendidikan yang hendak dicapai pemerintah Indonesia adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Oleh karena itu, pemerintah sejak orde baru telah mengadakan perluasan kesempatan memperoleh pendidikan bagi seluruh Rakyat Indonesia. Hal ini sesuai dengan bunyi pasal 31 ayat 1 UUD 1945, yang menyatakan bahwa: “Tiap-tiap warga Negara berhak mendapat pengajaran”.
Penyelenggaraan pendidikan melalui dua jalur yaitu jalur pendidikan formal dan jalur pendidikan nonformal. Pendidikan formal merupakan pendidikan yang diselenggarakan di sekolah dan perguruan tinggi dengan proses pengajaran yang berjenjang dan berkesinambungan. Sedang pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan yang diselenggarakan di luar sekolah dan perguruan  tinggi tanpa proses pengajaran yang berjenjang dan berkesinambungan. Keluarga merupakan lembaga pendidikan yang berada di luar pendidikan formal. Dalam keluarga diselenggarakan pendidikan keluarga dengan pemberikan pendidikan, pengajaran, dan bimbingan mengenai agama, moral, etika, budaya, dan keterampilan. Sehingga keluarga mempunyai peranan yang sangat penting dalam mendukung pendidikan. Dengan demikian, latar belakang keluarga harus diperhatikan guna tercapainya pendidikan yang maksimal.

Orang tua, masyarakat, dan pemerintah adalah tiga unsur yang bertanggungjawab dalam mencapai keberhasilan pendidikan. Masyarakat dan pemerintah bertugas menyiapkan sarana dan prasarana diselenggarakannya proses pendidikan, seperti kampus, dosen, pengawai yang mengurusi administrasi kampus dalam suatu perguruan tinggi. Bahar dalam  Maftukhah  (2007), menyatakan bahwa: pada umumnya anak yang berasal dari keluarga menengah ke atas lebih banyak mendapatkan pengarahan dan bimbingan yang baik dari orang tua mereka. Anak-anak yang berlatar belakang ekonomi rendah, kurang mendapat bimbingan dan pengarahan yang cukup dari orang tua mereka, karena orang tua lebih memusatkan perhatiannya pada bagaimana untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Keluarga mempunyai pengaruh terhadap proses perkembangan anak karena keluarga adalah lembaga sosial pertama dalam hidup manusia. Dalam keluarga, orang tua memiliki tugas dan kewajiban dalam memenuhi seluruh kebutuhan pendidikan anak, terutama dalam hal finansial. Dikatakan bahwa orang tua yang berstatus sosial ekonomi tinggi, tidaklah banyak mengalami kesulitan dalam proses pendidikan anaknya. Sebaliknya, bagi orang tua yang berstatus social rendah.  
Dalam proses pembelajaran diperlukan sarana penunjang yang terkadang mahal. Akibatnya bagi orang tua yang tidak  mampu memenuhi sarana penunjang tersebut, maka anak akan terhambat dalam proses pembelajaran. Dengan demikian, sumber daya manusia menjadi rendah sehingga menghambat kemajuan bangsa dan negara.
Keadaan demikian dapat kita lihat di SMA Negeri 1 Balapulang tahun ajaran 2009/2010  dalam sekolah  tersebut terdapat siswa-siswi dengan berbagai latar belakang sosial ekonomi orang tua yang berbeda. Adanya perbedaan status sosial ekonomi orang tua para siswa-siswi tersebut mempunyai pengaruh terhadap cara bergaul dan bersosialisasi pada siswa-siswinya.
Berdasarkan uraian di atas maka penulisan  ini mencoba menjelaskan “Adakah Perbedaan Social antar siswa di SMA Negeri 7 Semarang tahun ajaran 2010/2011 jika Dihubungkan dengan Perbedaan Status Social Ekonomi Orang Tua”.





       2.Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang dijelaskan  di atas maka dapat ditarik rumusan masalah sebagai berikut:
a.     Bagaimana gambaran tentang status sosial ekonomi orang tua para siswa SMA Negeri 7 Semarang tahun ajaran 2010/2011?
b.   Adakah perbedaan social antar siswa di SMA Negeri 7 Semarang tahun ajaran 2010/2011 jika dikaitkan dengan perbedaan status social ekonomi orang tua ?
      
       3.Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka penelitian ini bertujuan sebagai berikut:
a.     Untuk mengetahui gambaran tentang status sosial ekonomi orang tua para siswa di SMA Negeri 7 Semarang tahun ajaran 2010/2011.
b.     Untuk mengetahui ada atau tidaknya perbedaan social jika dikaitkan dengan perbedaan status social ekonomi orang tua.

                        C.KAJIAN TEORI
1.   Teori Stratifikasi
Dalam masyarakat terdapat sistem lapisan kelompok-kelompok yang dalam sosiologi dikenal dengan istillah stratifikasi sosial (social stratification). Pitirim A. Sorokin dalam Soekanto (2003:228) menyatakan bahwa social stratification adalah pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat (hirarkis).
Menurut Said Gatara dan Dzulkiah Said (2007:49), stratifikasi sosial adalah struktur sosial yang memiliki lapisan-lapisan dalam suatu masyarakat.
Selanjutnya menurut Henslin (2007:178), stratifikasi sosial (social stratification) merupakan suatu sistem di mana kelompok manusia terbagi dalam lapisan-lapisan sesuai dengan kekuasaan, kepemilikan, dan prestise relatif mereka. Penting untuk dipahami bahwa stratifikasi sosial tidak merujuk pada individu. Stratifikasi sosial merupakan cara untuk menggolongkan sejumlah besar kelompok manusia  ke dalam suatu hirarki sesuai dengan hak-hak istimewa relatif mereka.
Adanya sistem lapisan masyarakat dapat terjadi dengan sendirinya dalam proses pertumbuhan masyarakat itu. Tetapi ada pula yang dengan sengaja disusun untuk mengejar suatu tujuan bersama. Yang bisa menjadi alasan terbentuknya lapisan masyarakat yang terjadi dengan sendirinya adalah kepandaian, tingkat umur (yang senior), sifat keaslian keanggotaan kerabat seorang kepala masyarakat, mungkin juga harta dalam batas-batas tertentu. Alasan-alasan yang dipakai berlainan bagi tiap-tiap masyarakat.
Di dalam uraian tentang teori lapisan senantiasa dijumpai istilah kelas (social class). Seperti yang sering terjadi dengan beberapa istilah lain dalam sosiologi, maka istilah kelas, juga tidak selalu mempunyai arti yang sama. Walaupun pada hakikatnya mewujudkan sistem kedudukan-kedudukan yang pokok dalam masyarakat. Penjumlahan kelas-kelas dalam masyarakat disebut class-system artinya, semua orang dan keluarga yang sadar akan kedudukan mereka itu diketahui dan diakui oleh masyarakat umum. Dengan demikian, maka pengertian kelas adalah paralel dengan pengertian lapisan tanpa membedakan apakah dasar lapisan itu faktor uang, tanah, kekuasaan atau dasar lainnya
Dalam Soekanto (2003:235) Max Weber mengadakan pembedaan antara dasar ekonomis dengan dasar kedudukan sosial akan tetapi tetap mempergunakan istilah kelas bagi semua lapisan. Adanya kelas yang bersifat ekonomis dibaginya lagi ke dalam sub kelas yang bergerak dalam bidang ekonomi dengan menggunakan kecakapannya. Disamping itu, Max Weber masih menyebutkan adanya golongan yang mendapat kehormatan khusus dari masyarakat dan dinamakannya stand.
Joseph Schumpeter dalam Soekanto (2003:235-236), mengatakan bahwa terbentuknya kelas-kelas dalam masyarakat adalah karena diperlukan untuk menyesuaikan masyarakat dengan keperluan-keperluan yang nyata. Makna kelas dan gejala-gejala kemasyarakatan lainnya hanya dapat dimengerti dengan benar apabila diketahui riwayat terjadinya.
Soekanto (2003:237-238) membagi empat dasar lapisan masyarakat:
a.         Ukuran kekayaan. Barangsiapa yang memiliki kekayaan paling banyak, termasuk dalam lapisan teratas. Kekayaan tersebut, misalnya, dapat dilihat pada bentuk rumah yang bersangkutan, mobil pribadinya, cara-caranya mempergunakan pakaian serta bahan pakaian yang dipakainya, kebiasaan untuk berbelanja barang-barang mahal dan seterusnya.
b.        Ukuran kekuasaan. Barangsiapa yang memiliki kekuasaan atau yang mempunyai wewenang terbesar, menempati lapisan atasan.
c.         Ukuran kehormatan. Ukuran kehormatan tersebut mungkin terlepas dari ukuran-ukuran kekayaan dan/ atau kekuasaan. Orang yang paling disegani dan dihormati, mendapat tempat yang teratas. Ukuran semacam ini, banyak dijumpai pada masyarakat-masyarakat tradisional. Biasanya mereka adalah golongan tua atau mereka yang pernah berjasa.
d.        Ukuran ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan sebagai ukuran, dipakai oleh masyarakat yang menghargai ilmu pengetahuan. Akan tetapi ukuran tersebut kadang-kadang menyebabkan terjadinya akibat-akibat yang negatif. Karena ternyata bahwa bukan mutu ilmu pengetahuan yang dijadikan ukuran, akan tetapi gelar kesarjanaannya. Sudah tentu hal yang demikian memacu segala macam usaha untuk mendapat gelar, walau tidak halal.
Kedudukan di atas tidaklah limitatif karena masih ada ukuran yang lain yang dapat digunakan, akan tetapi ukuran-ukuran di atas sangat menentukan sebagai dasar timbulnya sistem lapisan dalam masyarakat tertentu. Pada beberapa masyarakat tradisional di Indonesia, golongan pembuka tanahlah yang dianggap memiliki status yang paling tinggi, menyusul para pemilik tanah, setelah itu mereka yang hanya memiliki tanah pekarangan rumah saja. Dalam masyarakat perkotaan status sosial ditentukan oleh standar keahlian yang dimiliki atau berada pada standar penilaian ilmu pengetahuan.

D.PEMBAHASAN
a.Gambaran status social ekonomi orang tua siswa SMA Negeri 7 Semarang.
            Status social erat kaitannya dengan stratifikasi social yang ada di masyarakat kita sekarang ini.Status social berbanding lurus dengan stratifikasi social yang ada di dalam masyrakat,semakin tinggi status social seseorang maka semakin tinggi pula ia menempati stratifikasi social yang ada di masyarakat.Berbicara mengenai status social yang ada dalam masyarakat kita bisa ambil contoh di SMA Negeri 7 Semarang.Mayoritas keadaan status social ekonomi orang tua siswa SMA Negeri 7 Semarang termasuk ke dalam golongan ekonomi menengah ke bawah,meskipun ada yang termasuk golongan ekonomi menengah ke atas  namun jumlahnya sedikit. Untuk pekerjaan para orang tua siswa rata-rata PNS dan swasta.
            Untuk sekolahnya sendiri di SMA Negeri 7 Semarang kelas X terdiri atas 10 kelas, kelas XI 10 kelas terdiri atas jurusan IPA 4 kelas,jurusan IPS 5 kelas dan Bahasa 1 kelas.Kelas XII sama dengan kelas XI untuk jumlahnya.

b.Perbedaan Status Sosial antar Siswa SMA Negeri 7 Semarang
            Siswa-siswi SMA Negeri 7 Semarang kebanyakan berasal dari latar belakang keluarga dengan status social ekonomi menengah ke bawah.Untuk pekerjaan orang tua siswa rata-rata adalah sebagai PNS dan Swasta.Di SMA Negeri 7 Semarang ada pembagian kelas yakni saat kenaikan kelas dari kelas X naik kelas XI lebih tepatnya adalah program penjurusan di mana siswa diarahkan untuk memilih jurusan mereka masing-masing ada IPA,IPS dan Bahasa.Pemilihan jurusan siswa ini disesuaikan pula dengan nilai rapor kelas X.Bagi mereka mereka yang tidak suka akan mata pelajaran IPA akan memilih jurusan IPS atau Bahasa.Setelah program penjurusan ini ternyata secara fisik para siswa terbagi dalam kelompok-kelompok tertentu,dalam hal ini adalah program apa yang mereka pilih.Dalam teori pelapisan social dijelaskan bahwa senantiasa dijumpai istilah kelas(social class).Berkaitan dengan penjelasan sebelumnya di SMA Negeri 7 Semarang siswa kelas XI dan XII terbagi dalam kelompok-kelompok social sesuai program jurusan yang mereaka pilih.Seperti yang sudah dijelaskan di atas bahwa untuk kelas XI terdiri atas 4 kelas IPA,5 kelas IPS dan 1 kelas Bahasa.Program jurusan ini jika dikaitkan dengan teori stratifikasi social bisa dikatakan sebagai pembagian kelas-kelas social karena pada akhirnya mereka dikelompok-kelompokan dalam kelas-kelas social sesuai program jurusan yang diambil.Tidak hanya karena factor nilai rapor namun factor latar belakang keluarga dengan status social yang berbeda juga berpengaruh terhadap penentuan program jurusan yang akan mereka ambil.Biasanya orang tua kebanyakan menginginkan anaknya mengambil jurusan IPA.
            Adanya program penjurusan ini pada akhirnya membuat para siswa kelas XI dan XII dalam cara bergaul dan bersosialisasinya terbatas hanya pada kelas mereka sendiri saja,sesama satu  jurusan.Ditambah lagi dari pihak sekolah lebih mengunggulkan salah satu program saja yakni program IPA,karena program jurusan yang lain dianggap sebagai program jurusan di bawah program jurusan IPA.Hal ini membuat di anatara siswa seperti ada sekat-sekat dalam teori pelapisan social ada semacam kelas atas dan kelas bawah.Dalam hal ini bisa dikatakan program IPA seabagai kelas atas dan progrsm IPS dan Bahasa sebagai kelas bawah.Dari penggolongan kelas-kelas tersebut tentu secara tidak langsung mempengaruhi cara bergaul dan bersosialisasi mereka.Anak-anak IPA terkenal dengan kedisplinanya dan kepintarannya sedangkan anank-anak IPS dan Bahasa lebih dikenal sebabia anak-anak yang badung,banyak bicara,kurang displin dan lain-lain.Di SMA Negeri 7 Semarang siswa program jurusan  IPA kebanyakan bergaul dan bersosialisasi dengan siswa jurusan IPA,begitu juga sebaliknya untuk siswa program jurusan IPS dan Bahasa hanya bergaul dengan teman sejurusan mereka saja.Singkatnya anak-anak jurusan IPA bergerombol dengan satu jurusan IPA dan IPS juga hanya bergerombol dengan satu jurusan IPS.
            Dari penjelasan di atas ternyata dengan latar belakang social ekonomi yang berbeda di antara siswa –siswa SMA Negeri 7 Semarang tidak menimbulkan perbedaan social di antara mereka secara mencolok.Perbedaan social terjadi lebih dikarenakan dengan adanya program penjurusan yang diadakan oleh sekolah.Program penjurusan ini mengakibatkan para siswa terbagi dalam kelas-kelas social dengan kelas IPA sebagai first class dan kelas IPS dan Bahasa sebagai second class.Dari pihak sekolah pun lebih menuggulkan program jurusan IPA.Hal ini juga mengakibatkan para siswa lebih membatasi diri dengan bergaul dan bersosialisasi dengan teman satu jurusan saja.Anak-anak IPA dengan IPA yang lain,begitu juga sebaliknya anak-anank IPS dan Bahasa.Perbedaan latar belakang keluarga yang berbeda tidak membuat perbedaan social yang mencolok di antara para siswa karena semua siswa bergaul dengan siapa saja.Siswa dengan latar belakang keluarga menengah ke bawah bergaul dengan siswa berlatar belakang social ekonomi menengah ke atas.Semua siswa berbaur menjadi satSiswa dengan latar belakang keluarga menengah ke bawah bergaul dengan siswa berlatar belakang social ekonomi menengah ke atas.Semua siswa berbaur menjadi satu,tidak memandang status social ekonomi keluarga.








E.PENUTUP  
a.Simpulan
1.Status social ekonomi orang tua siswa SMA Negeri 7 Semarang termasuk ke dalam golongan ekonomi menengah ke bawah.Rata-rata para orang tua siswa bekerja sebagai PNS dan Swasta.
2.Perbedaan social di antara siswa terjadi karena adanya pembagian kelas yang dilakukan oleh pihak sekolah yaitu dengan program penjurusan.Di mana siswa terbagi dalam kelompok-kelompok social yaitu kelas IPA,kelas IPS dan kelas Bahasa.Bukan karena latar belakang social ekonomi keluarga yang berbeda.
3.Program penjurusan ini membatasi ruang gerak,cara bergaul dan cara bersosialisasi para siswa SMA Negeri 7 Semarang.Mereka hanya bergaul dengan teman satu jurusan saja terlebih lagi dari pihak sekolah lebih mengunggulkan salah satu kelas saja yakni kelas IPA.Hal ini menimbulkan semacam kecemburuan social di antara siswa kelas IPS dan Bahasa dengan siswa kelas IPA.
b.Saran
1.Dari pihak sekolah sebaiknya tidak membeda-bedakan program apa yang diambil oleh siswa dan tidak mengunggulkan salah satu program saja agar tidak terjadi  kecemburuan social antar siswa.Siswa harus diberi perhatian yang sama rata.
2.Sebaiknya pihak sekolah memberi kesempatan yang sama untuk semua siswa SMA Negeri 7 Semarang untuk mengembangkan diri dan berkreativitas.Untuk siswa IPS,Bahasa maupun IPA sehingga tidak terjadi skecemburuan social antara siswa.














                                                                                        
TUGAS MID SOSIOLOGI PENDIDIKAN
“Adakah Perbedaan Sosial antar Siswa SMA Negeri 7 Semarang jika Dihubungkan dengan Status Sosial Ekonomi Orang Tua”
Dosen Pengampu :
1.Dra. Eli Kismini,M.si
2.Fajar,S.pd



Di Susun oleh :
Galih Mahardika C.P(3401409065)


JURUSAN SOSIOLOGI DAN ANTROPOLOGI
UNNES

Sistem Kekerabatan Orang Jawa Kota


            Sistem istilah kekerabatan orang jawa sifatnya sangat klasifikatoris,dengan titik berat pada asas angkatan.Semua jenis kerabat dari angkatan ego dikelaskan ke dalam tiga kelas kerabat saja antara lain mbakyu,kakang,adhi.Dalam keluarga inti orang-orang yang disapa dengan istilah Mbak dan Mas memang usianya lebih tua dari pada Ego dan mereka yang disapa dhik usianya lebih muda dari pada Ego.
            Dalam hubungan antara saudara kandung dalam keluarga priyayi ada faktor berdasarkan umur Memang ada perbedaan antara sebutan untuk saudara sepupu senior dan saudara sepupu yunior,tetapi hal ini tidak ada hubunganya dengan umur mereka yang sesungguhnya.Istilah untuk menyebut segala jenis kerabat dari angkatan di bawahEgo adalah putra dan kepenakan.
            Istilah-istilah yang digunakan untuk menyatakan segala jenis kerabat dari satu angkatan di atas Ego adalah Rama,bapa,pak untuk ayah dan Ibu,bu untuk ibu.Anak-anak wajib menunjukan hormat mereka kepada orang tua dan wajib melakukan segala perintah mereka.Anak-anak keluarga priyayi jarang mencurahkan isi hati mereka kepada Ibu karena hubungan antara anak dan Ibu masih tetap bersifat resmi.Adat menggunakan gaya bahasa krami untuk berbicara kepada orang tua masih tetap dilakukan di dalam keluarga priyayi tradisional.
            Orang tua dari Ayah dan ibu di sebut dengan istilah eyang atau mbah.Orang Jawa harus mempunyai rasa hormat kepada kake dan neneknya dan memperlakukan mereka denagan hormat sejak kecil.Seseorang harus berbicara krami ketika berbicara dengan kakek dan neneknya.
            Istilah-istilah yang dipakai untuk menyebut para kerabat berdasarkan perkawinan juga bersifat klasifikatoris,dalam angkatan Ego semua suami atau istri saudara kandungnyasreta para saudara kandung suami atau istrinya,diklasifikasikan dengan satu istilah yaitu ipe(pripean).Mertua dalam bahasa Jawa adalah marasepuh atau mertuwa dan menantu adalah mantu.Orang jawa harus hormat dengan mertuanya dan gaya bahasa yang dipakai harus resmi(krami),sedangkan mertuwa menggunakan bahasa ngoko kepada menantunya.Besan adalah hubungan yang bersifat persahabatan dan resmi.