Label

Jumat, 06 Januari 2012

Materi Sosiologi untuk kelas XI semester 2

Multikulturalisme dalam Masyarakat Majemuk
Posted on 15. Jul, 2008 by ave in Pojok, Riset
DI DALAM dunia ilmu-ilmu sosial telah muncul semacam kesadaran, bahwa penelitian sosial tidak pernah boleh berhenti pada pengumpulan data-data semata. Penelitian sosial haruslah menekankan dan mengajarkan nilai-nilai yang berguna bagi kehidupan bersama. Hal yang sama kiranya juga berlaku di dalam penelitian-penelitan mengenai multikulturalisme.
Seorang ilmuwan sosial asal Swedia, Gunnar Myrdal, mempunyai pendapat menarik tentang hal ini.[2] Pertama, baginya ilmu-ilmu sosial haruslah melibatkan sesuatu yang lebih dari sekedar penggambaran fakta-fakta. Dalam arti ini ilmu sosial haruslah menyentuh problem-problem mendasar kehidupan manusia, seperti soal nilai dan makna. Kedua, setelah menggambarkan fakta ilmu-ilmu sosial haruslah menjelaskan keterkaitan antara fakta-fakta yang beragam tersebut tersebut. Ilmu sosial haruslah mampu menunjukkan relasi yang memberikan kerangka berbagai data yang ada. Ketiga, di dalam ilmu-ilmu sosial problem mengenai sudut pandang sangatlah penting untuk diperhatikan. Suatu masalah bisa begitu signifikan di lihat dari satu sudut pandang tertentu, tetapi juga bisa menjadi sangat tidak signifikan jika dilihat dari sudut pandang lain. Seorang ilmuwan sosial haruslah memberikan argumen yang kuat, jika ia hendak memutuskan bahwa satu sudut pandang dianggap lebih penting daripada sudut pandang lain. Myrdal merumuskan pandangannya ini dalam konteks analisisnya problem multikulturalisme di Amerika. Pertanyaan yang menjadi fokusnya adalah struktur, institusi, dan kebijakan macam apakah yang diperlukan untuk mencapai tujuan akhir yang sesuai dengan konstitusi dasar Amerika?
Pertanyaan itu tentunya kurang relevan untuk kita. Akan tetapi problematika yang muncul akibat fakta adanya kehidupan bersama antara orang-orang yang berasal dari kultur maupun agama yang berbeda jelas sangat relevan untuk Indonesia. Dalam hal ini tentunya kita bisa banyak belajar dari pada peneliti dan ilmuwan yang sudah banyak melakukan analisis di bidang ini. Pelajaran yang ditarik bisa di level deskripsi data, tetapi juga lebih dari itu, yakni suatu konsep tentang masyarakat multikultural, seperti Indonesia, yang ideal. Pada bagian ini, saya akan mencoba untuk menelusuri beberapa pendapat John Rex mengenai problematika multikulturalisme di dalam masyarakat majemuk.
Multikulturalisme untuk Masyarakat Majemuk
Mari kita telusuri beberapa gagasan mengenai tata masyarakat di dalam konteks masyarakat majemuk. Teori sosiologi klasik biasanya selalu berfokus pada konflik-konflik sosial yang muncul di dalam masyarakat yang kurang lebih homogen. Pada 1939 Furnivall membuat terobosan baru dengan mencoba memahami dinamika dan problematika masyarakat plural.[3] Kebetulan juga ia mencoba mempelajari dinamika masyarakat Indonesia pada saat itu. Ia menemukan fakta menarik. Di Indonesia banyak orang yang berasal dari beragam latar belakang suku dan agama hidup di dalam daerah yang sama. Akan tetapi interaksi sesungguhnya justru dilakukan di dalam pasar, dan bukan di tempat tinggal mereka. Artinya walaupun setiap orang hidup di dalam wilayah yang memiliki nilai moral dan agama yang berbeda-beda, tetapi mereka bisa bertemu di pasar. Pasar dianggap sebagai tempat yang tidak memiliki kontrol moral ataupun religius partikular. Di Eropa kapitalisme berkembang sangatlah lambat, dan melibatkan interaksi yang luar biasa rumit dengan nilai-nilai moral di dalam budaya maupun agama. Hal ini tidaklah terjadi di Indonesia. Perkembangan kapitalisme di Indonesia selalu melibatkan pasar, di mana relasi yang terjadi adalah relasi dominasi antara kelompok yang satu atas kelompok yang lain.[4]
Suatu masyarakat disebut sebagai masyarakat majemuk, jika masyarakat tersebut memenuhi satu dari dua definisi berikut ini. Pertama, masyarakat majemuk adalah masyarakat yang terdiri dari komunitas etnik yang berbeda-beda. Komunitas etnik tersebut hidup terpisah-pisah, dan masing-masing memiliki moralitasnya sendiri. Yang kedua, masyarakat majemuk adalah masyarakat yang hidup di dalam satu komunitas yang sama, namun dipisahkan satu sama lain oleh pasar. Pada titik ini ada baiknya kita bertanya, apakah masyarakat majemuk semacam itu akan mendorong terciptanya semacam moralitas bersama untuk memampukan mereka hidup bersama secara harmonis, atau mereka justru akan menciptakan relasi dominatif antara kelompok yang kuat terhadap kelompok yang lemah, di mana justru relasi dominatif itu yang akan menjadi pengikat kehidupan bersama?
Salah satu sosiolog yang mencoba menganalisis hal ini adalah M.G Smith.[5] Menurutnya suatu masyarakat yang homogen selalu memiliki seperangkat aturan sistem sosial yang uniter. Artinya masyarakat tersebut mempunyai seperangkat aturan yang mengatur kehidupan privat, religius, hukum, politik, ekonomi, pendidikan, dan sebagainya. Akan tetapi masyarakat majemuk tidaklah memiliki hal semacam itu. Masyarakat majemuk ditandai dengan beragamnya perangkat aturan nilai yang digunakan untuk menata kehidupan sosial manusia, dan masing-masing aturan nilai tersebut bersifat total hanya bagi orang-orang yang berada di dalam kultur ataupun agama tertentu. Di dalam masyarakat semacam ini tidak ada sabuk pengikat kehidupan bersama. Bahkan menurut Smith, masyarakat majemuk justru diikat oleh adanya dominasi kelompok yang satu atas kelompok yang lain. Jadi elemen yang mengikat masyarakat majemuk untuk tetap eksis sebagai masyarakat justru adalah dominasi. Dalam konteks ini Smith menawarkan suatu model untuk menjelaskan terjadinya diskriminasi rasial di dalam masyarakat majemuk.
Tentu saja model ini bukanlah suatu model yang ideal bagi masyarakat multikultur. Untuk mencoba merumuskan model ideal bagi suatu masyarakat multikultur, kita pertama-tama perlu untuk membedakan wilayah privat dan wilayah publik dari kehidupan sosial. Rex menawarkan tiga model dalam konteks ini. Pertama, kita dapat memikirkan sebuah masyarakat yang memiliki ruang publik yang tunggal, namun justru mendorong terciptanya perbedaan di dalam ruang privat. Kedua, kita dapat membayangkan sebuah model masyarakat, di mana masyarakat sekaligus mendorong kesatuan di dalam ruang publik maupun di dalam ruang privat. Kesatuan tersebut tentunya didasarkan pada seperangkat nilai-nilai moral yang disepakati bersama. Ketiga, suatu masyarakat juga dapat mendorong perbedaan dan mengakui pluralitas nilai sekaligus di ruang publik, dan di dalam ruang privat. Masyarakat multikultur yang ideal, menurut Rex, adalah masyarakat yang memenuhi model pertama, di mana setiap orang dan setiap kelompok diberi kebebasan untuk mengekspresikan nilai-nilai maupun cara hidup mereka, namun tetap mengacu terus pada ruang publik bersama sebagai satu kesatuan. Model kedua adalah model yang dipakai oleh praktek-praktek kolonialisme, seperti pada sistem Apartheid di Afrika Selatan.
Saya tertarik untuk membahas lebih jauh pandangan Rex mengenai ruang privat dan ruang publik ini. Menurutnya refleksi tentang ruang publik dan ruang privat masihlah jarang ditemukan di dalam teori-teori sosiologi klasik. Para pemikir klasik cenderung untuk memandang masyarakat sebagai kumpulan institusi yang saling terhubung, dan kemudian membentuk satu sistem tunggal. Pandangan semacam ini dengan mudah dapat ditemukan di dalam pemikrian Talcott Parsons,[6] serta para pemikir Strukturalis Perancis, seperti Althusser.[7] Mereka cenderung untuk berpendapat bahwa ruang publik dibentuk oleh semacam moralitas bersama, dan moralitas itu pula yang mengatur kehidupan ruang privat melalui institusi-institusi sosial, seperti institusi agama.
Institusi-institusi sosial yang ada sekarang sangatlah didasarkan pada paradigma fungsionalis semacam ini. Sistem ekonomi dan sistem hukum telah dilepaskan dari tata nilai tradisional, dan mengadopsi tata nilai yang sama sekali baru. Tentu saja nilai-nilai kultural dan nilai-nilai agama tradisional tidak otomatis sama sekali lenyap. Akan tetapi praktek-praktek yang didasarkan atas tata nilai tradisional tidak pernah boleh mencampuri kinerja sistem-sistem sosial yang ada, baik sistem politik, ekonomi, maupun hukum.
Teori-teori sosiologi klasik cenderung untuk memfokuskan analisisnya pada sistem nilai yang berlaku di dalam sebuah masyarakat. Sistem nilai itulah yang menjadi aturan moral yang menata kehidupan masyarakat tersebut. Ferdinand T?nnies pernah menulis, bahwa suatu masyarakat harus mendasarkan kerja sama dan interaksinya pada suatu dasar yang bersifat historis.[8] Durkheim juga pernah menulis tentang “solidaritas organik” (organic solidarity) yang didasarkan pada pembagian kerja (division of labour). Solidaritas organik ini dibedakannya dari solidaritas mekanik pada masyarakat kecil yang didasarkan pada kekeluargaan (kinship).[9] Solidaritas organik ini juga dibedakan dari logika yang menjalankan suatu masyarakat egoistik, di mana nilai-nilai yang menata kehidupan bersama terletak pada beberapa individual yang dominan saja. Beragam pandangan ini semakin dilengkapi oleh Weber, ketika ia menulis bahwa etika Protestan dan Calvin mendorong terciptanya rasionalisasi di bidang agama. Dalam konteks ini, kehidupan bersama semakin didasarkan pada otoritas legal-rasional, dan bukan lagi pada otoritas religius-metafisis.[10]
Dalam arti ini proses perubahan sosial, pembentukan sistem negara modern, dan pembentukan sistem ekonomi kapitalis didorong oleh rasionalitas moral dan hukum di dalam masyarakat. Dengan inilah, menurut Parsons, problematika mengenai bagaimana terbentuknya tatanan masyarakat untuk mencegah ‘perang semua melawan semua’ dapat diselesaikan. Akan tetapi proses rasionalisasi bidang-bidang kehidupan ini tampaknya tidak berjalan secara universal. Seperti yang pernah dirumuskan oleh Furnivall, proses terbentuknya sistem negara modern dan sistem ekonomi kapitalis berdasarkan kehendak bersama tidaklah terjadi di Indonesia. Di Indonesia proses rasionalisasi identik dengan proses kolonialisasi dan dominasi dunia kehidupan bangsa Indonesia oleh kekuatan-kekuatan asing dari Eropa. Tidak seperti di Indonesia, proses pembentukan sistem di Eropa berjalan paralel dengan proses perubahan kulturalnya, sehingga terjadi kesinambungan yang harmonis di antara keduanya.[11] Inilah yang disebut Rex sebagai kultur publik (public culture).
Kultur publik ini terlihat dengan jelas di dalam moralitas publik, hukum, dan agama yang didasarkan pada rasionalitas. Munculnya kultur publik ini juga menandakan berakhirnya kultur rakyat (folk culture) yang terwujud di dalam moralitas, hukum, dan agama rakyat. Hukum, politik, dan moralitas yang didasarkan pada rasionalitas ini kemudian memiliki fungsi sosial yang baru. Di satu sisi, elemen-elemen publik ini mengikat orang-orang yang berbeda untuk bisa hidup di dalam satu komunitas tertentu. Tidak hanya mengikat, elemen-elemen publik ini juga memberikan orang-orang tersebut identitas sosial yang solid. Di sisi lain, elemen publik ini juga memberikan apa yang Parsons sebut sebagai “pemeliharaan pola dan pengaturan tegangan” (pattern maintenance and tension management). Parsons juga lebih jauh berpendapat, bahwa kehidupan di dalam dunia yang rumit dan plural ini hanya mungkin, jika orang memiliki semacam ‘ruang tenang’ yang memungkinkan mereka untuk merasa nyaman. Ruang tenang inilah yang disebutnya sebagai ruang intim.
Tentu saja, pengandaian-pengandaian yang ada di dalam masyarakat multikultur itu hanya mungkin, jika masyarakat telah mengalami perubahan menjadi masyarakat bermentalitas modern. Di dalam masyarakat yang masih sederhana, seluruh kehidupan masyarakat diatur oleh seperangkat aturan nilai tertentu. Hal yang sama kiranya berlaku di dalam masyarakat multikultur, walaupun dengan pola yang berbeda. Seperangkat nilai yang didasarkan pada moralitas bersama haruslah diterapkan untuk mengatur kehidupan sosial masyarakat dalam skala yang masif. Sementara, perangkat nilai yang sama haruslah juga memungkinkan individu-individu yang ada di masyarakat tersebut untuk memperoleh kenyamanan dan stabilitas eksistensial. Masyarakat multikultur haruslah memiliki perangkat nilai semacam itu. Dengan kata lain adalah suatu keharusan, bahwa perangkat nilai yang didasarkan pada moralitas bersama dapat mengatur kehidupan masyarakat, baik di dalam ruang publik maupun di dalam ruang privat. Tanpa perangkat nilai semacam itu, kehidupan bermasyarakat di dalam masyarakat multikultur tidak akan mungkin dapat terjadi.
Institusionalisasi Ruang Publik
Di dalam masyarakat multikultur, menurut Rex, ruang publik dan ruang privat seringkali bersinggungan. Ketika bersinggungan, tegangan dan konflik kepentingan pun tidak dapat dihindarkan. Bidang-bidang yang kiranya menandai persinggungan itu adalah bidang pendidikan dan bidang politik. Pendidikan dan pengaruh ideologi politik terasa dari ruang publik sampai ke dalam ruang privat. Ketika sudah terhubung di dalam ruang publik, pendidikan dan ideologi politik pun kini juga berurusan dengan hukum dan ekonomi.
Hukum menentukan bagaimana orang, baik secara individual dan komunal, dapat hidup bersama dan terintegrasi secara positif ke dalam masyarakat. Inilah yang kiranya menandai ciri dari masyarakat modern, bahwa orang-orang yang berasal latar belakang berbeda dapat terintegrasi secara positif ke dalam masyarakat. “Di dalam masyarakat multikultur yang ideal”, demikian tulis John Rex, “bagaimanapun juga, kita mengandaikan bahwa semua individu secara setara terintegrasi dan dan bahwa mereka memiliki kesetaraan di hadapan hukum.”[12] Ideal semacam ini tidak akan pernah tercapai ke dalam realitas, jika banyak orang masih mengalami diskriminasi di hadapan hukum, atau hak-haknya sebagai warga negara tidak lagi diakui sepenuhnya.
Dalam konteks politik misalnya, kelompok-kelompok yang berbeda di dalam masyarakat multikultur seringkali juga memiliki kekuatan politis yang berbeda-beda pula. Ini tentu saja bukanlah suatu kondisi yang ideal. Di dalam masyarakat multikultur yang ideal, kelompok-kelompok sosial yang berbeda haruslah memiliki kekuatan politik yang setara. Kesetaraan ini dapat dirasakan dalam bentuk partisipasi yang setara di dalam kehidupan-kehidupan publik, maupun di dalam proses-proses pembuatan keputusan yang terkait dengan kehidupan bersama.
Salah satu bidang yang memiliki dampak besar bagi kehidupan bersama adalah bidang ekonomi. Artinya, bidang ekonomi haruslah memiliki seperangkat aturan moral yang memungkinkan bidang tersebut bisa ditata demi kepentingan publik. Bidang ekonomi haruslah mengalami proses institusionalisasi. Proses ini melibatkan proses tukar menukar dan kompetisi antara penjual dengan penjual, ataupun pembeli dengan pembeli. Proses tukar menukar dan kompetisi ini haruslah dibebaskan dari penggunaan kekerasan ataupun pemaksaan. Moralitas yang berlaku di dalam bidang ekonomi adalah moralitas pertukaran yang damai (peaceful bargaining). Upaya untuk mempertahankan proses pertukaran yang adil dan harmonis sangatlah menentukan tingkat keberadaban suatu masyarakat multikultur.[13]
Akan tetapi, walaupun masyarakat multikultur telah memiliki seperangkat tata nilai yang dianggap sebagai moralitas bersama, hal ini sama sekali tidak menjamin bahwa masyarakat tersebut akan selalu hidup dalam keadaan damai. Seringkali, upaya-upaya untuk mewujudkan tujuan-tujuan politis menghasilkan konflik politik yang lebih besar intensitasnya. Upaya-upaya politis tersebut tidak pernah boleh menyangkal hak-hak individual seorang pun, terutama atas dasar alasan-alasan perbedaan etnis.
Dengan demikian, proses pembentukan hukum, politik, dan ekonomi merupakan suatu proses institusionalisasi ruang publik. Proses institusionalisasi tersebut haruslah didasarkan pada nilai-nilai moral yang telah disepakati bersama. Nilai-nilai moral yang sama jugalah yang dapat digunakan untuk menata kehidupan privat yang berkaitan dengan moralitas dan agama. Akan tetapi, terutama pada praktek politik welfare state, ruangp publik, dengan menggunakan kekuasaan birokratis politiknya, bisa memaksakan otoritasnya juga pada persoalan-persoalan agama maupun moralitas.
Dalam batas tertentu, ekspansi kekuasaan birokrasi negara ini memiliki dampak negatif. Negara, misalnya, memiliki kekuatan untuk melakukan intervensi ke dalam ekonomi melalui mekanisme kontrol kepemilikan, dan campur tangan melalui subsidi maupun peraturan hukum. Lebih dari itu, negara juga memiliki otoritas untuk ikut campur tangan dalam soal-soal moralitas privat maupun keluarga. Mekanisme intervensi ini tentu saja juga mempunyai dampak positif, yakni memungkinkan terjadinya pembagian kekayaan yang merata. Negara juga memiliki otoritas untuk menjamin berfungsinya serikat buruh, sekaligus memastikan bahwa setiap orang, apapun sukunya, memiliki pekerjaan yang layak.[14] Dengan otoritas politiknya, negara juga bisa menjamin bahwa setiap orang yang tidak memiliki pekerjaan memperoleh pendapatan secukupnya. Negara juga bisa membentuk suatu instansi pemerintahan yang memperhatikan problem-problem di dalam keluarga maupun problem individual. Semua ini tentunya membutuhkan pelampauan batas antara ruang publik maupun ruang privat. Dalam arti ini, negara wajib untuk melampaui batas ruang publik dan ruang privat, dan menjamin bahwa kepentingan yang lebih besar dan lebih universal dapat tercapai.
Di dalam bukunya, T. Marshall pernah berpendapat bahwa di dalam masyarakat multikultur, negara tidak hanya memenuhi hak-hak politik maupun hak-hak legal rakyatnya, tetapi juga hak-hak sosial maupun kultural warganya. Harapannya adalah, dengan diperhatikan hak-hak sosial maupun kulturalnya, warga bisa memahami bahwa kepentingan bersama lebih penting dari sekedar kepentingan kelas sosial semata. Dengan kata lain, rakyat jadi memiliki loyalitas yang otentik pada negaranya, dan bukan hanya pada kelas sosialnya semata. Rex menulis begini, “banyak dari perasaan identifikasi yang dimiliki individu dulunya hanya pada ruang privat, kini ditransfer ke level negara.”[15] Setiap orang menghargai dan menghormati kepentingan partikular kelas sosialnya, tetapi lebih dari itu, setiap orang lebih menghargai dan menghormati kepentingan negaranya yang melingkupi kelas sosial yang lebih luas.
Memang, yang terjadi disini adalah seolah peran keluarga kini telah digantikan oleh negara. Akan tetapi, tidak ada yang salah dengan hal ini, terutama ketika justru negara dapat menjalankan fungsi sosialisasi dan penanaman nilai-nilai secara lebih efektif daripada keluarga. Pada titik inilah ruang publik dan ruang privat menyatu. Namun, ketika negara dengan otoritas politiknya mulai mencampuri urusan pendidikan, ada beberapa masalah baru muncul.
Pendidikan, Ruang Publik, dan Ruang Privat
Di dalam masyarakat modern, pendidikan setidaknya memiliki tiga fungsi. Pertama, pendidikan berfungsi untuk memilih individu-individu sesuai dengan kriteria keahlian mereka, untuk kemudian mempersiapkan mereka menempati peran-peran tertentu di dalam masyarakat. Peran-peran sosial tersebut tentunya sesuai dengan apa yang menjadi keahlian mereka. Kedua, pendidikan juga mengajarkan kemampuan-kemampuan praktis yang dibutuhkan oleh setiap orang untuk mempertahankan hidupnya, seperti untuk bekerja di bidang industri, ekonomi, ataupun bidang-bidang lainnya. Dan ketiga, pendidikan berfungsi untuk mengajarkan nilai-nilai moral. Fungsi terakhir inilah yang seringkali mengalami konflik dengan kepentingan privat.
Memang adalah wajar, jika pemerintah ikut campur dalam soal pendidikan. Yang terpenting adalah, proses pendidikan ini tidak bersifat eksklusif. Sejauh pengajaran nilai-nilai moral tersebut terkait dengan moralitas kehidupan bernegara, maka sebenarnya campur tangan pemerintah di dalam pendidikan dapatlah dibenarkan. Akan tetapi, setiap kultur di dalam masyarakat memiliki nilai-nilai partikularnya sendiri yang dijunjung tinggi. Masalah muncul, ketika nilai-nilai partikular tersebut bertentangan dengan moralitas kehidupan bernegara yang diajarkan secara umum oleh pemerintah.
Konflik semacam ini banyak terjadi di Inggris. Orang-orang Asia yang tinggal di Inggris seringkali sudah merencanakan pernikahan anak-anak mereka, ketika anak-anak mereka masih dalam usia muda. Dalam beberapa kesempatan, sekolah seirng mengadakan kegiatan berenang bersama, dan kegiatan ini seringkali bertentangan dengan nilai-nilai Asia yang tidak memperbolehkan wanita yang sudah menikah memakai pakaian renang di hadapan orang yang bukan suaminya. Para pemikir dan aktivis feminisme juga memberikan tanggapan kritis mengenai praktek ini. Mereka berpendapat bahwa pernikahan haruslah muncul dari keinginan individual, dan bukan karena kehendak orang tua. Praktek semacam ini dianggap sebagai praktek yang menindas.
Tentu saja, pandangan itu tidaklah disetujui oleh keluarga yang masih meyakini nilai-nilai ketimuran tertentu. Perjodohan, menurut mereka, adalah tanda kepedulian orang tua pada anak perempuannya, yakni bahwa anak perempuannya sudah ada yang menjaga dan mengusahakan kebahagiaannya. Kemungkinan untuk memperoleh calon suami yang baik juga jauh lebih besar di dalam proses perjodohan, daripada jika hanya mengandalkan pencarian yang acak dan romantis, seperti yang kiranya menjadi cita-cita banyak gadis Eropa. Benturan budaya juga terjadi, ketika kultur Eropa yang sangat terbuka pada seksualitas berhadapan dengan kultur ketimuran tertentu yang masih menempatkan seks sebagai persoalan privat semata. Para feminis, dalam hal ini, menuntut diperbesarnya kebebasan kaum perempuan untuk mengekspresikan seksualitas mereka. Akan tetapi, hal ini secara langsung bertentangan dengan nilai-nilai ketimuran.
Data tentang terjadinya benturan-benturan nilai semacam itu bisa diperpanjang lagi. Yang penting untuk diketahui adalah bahwa benturan itu terjadi, dan frekuensinya semakin sering sekarang ini. Sebuah masyarakat yang ingin memberi tempat bagi keberagaman kultural sekaligus tetap hendak menjamin kesetaraan kesempatan bagi semua pihak, haruslah berhadapan dengan benturan-benturan nilai semacam ini. Juga diperlukan kesadaran, bahwa pemerintah tetap dapat menjamin kesetaraan partisipasi sosial semua pihak sekaligus tetap memberikan ruang bagi pluralitas kultural anggota masyarakatnya.
Seperti sudah dilihat sebelumnya, pendidikan merupakan bidang yang kental dengan benturan nilai semacam ini. Banyak kultur yang merasa, bahwa sistem pendidikan yang dilangsungkan oleh pemerintah tidaklah menampung nilai-nilai kultural mereka. Oleh sebab itu, mereka kemudian menuntut untuk diberikannya kesempatan mendirikan sekolah yang mengajarkan secara langsung nilai-nilai kultural mereka. Hal ini banyak terjadi, baik di Eropa, Amerika, maupun Indonesia, dan belum ada kebijakan yang jelas tentang hal ini. Banyak orang-orang yang berasal dari kultur minoritas lalu memutuskan untuk menanamkan nilai-nilai kultural mereka di luar jam sekolah. Hal yang sebenarnya ingin saya tekankan disini adalah, bahwa walaupun kultur minoritas haruslah belajar dari kultur mayoritas, tetapi kultur mayoritas tetap juga harus belajar dari kultur minoritas. Proses ini tentunya akan mendorong terciptanya penghormatan terhadap kesetaraan kultur di dalam masyarakat majemuk.
Persoalan tentang bahasa juga menimbulkan banyak dilema. Bagi kelompok minoritas kultural, pengajaran yang dilakukan dengan menggunakan bahasa kultur mereka sudah sejak dahulu dianggap sebagai sesuatu yang penting. Hal ini tentunya haruslah mendapatkan akomodasi lebih jauh. Menurut John Rex, adopsi penggunaan bahasa kultur minoritas justru dapat mendorong terjadinya asimilasi yang positif di dalam masyarakat majemuk. Pengakuan terhadap keberadaan bahasa kultur minoritas justru dapat mendorong terciptanya kesetaraan sosial di dalam masyarakat multikultur.
Apa yang ingin ditekankan disini adalah, bahwa tegangan internal di dalam sistem pendidikan haruslah diakui keberadaanya terlebih dahulu, termasuk tegangan antara kepentingan privat dan kepentingan publik di dalam sistem pendidikan. Sekolah, sebagai agen pendidikan, haruslah mengajarkan ketrampilan dan moralitas publik kepada warga negara. Dan lebih dari itu, komunitas sebagai keseluruhan haruslah berpartisipasi di dalam proses pendidikan, termasuk di dalamnya adalah pendidikan bahasa, agama, dan moral-moral privat. Hanya dengan begitulah masyarakat multikultur yang harmonis dapat terwujud.
Memang, persoalan pendidikan di dalam masyarakat multikultur selalu berkisar di dalam perdebatan ini, apakah pendidikan harus mengacu pada kepentingan untuk mempertahankan kultur minoritas tertentu, atau untuk mengabdi pada kepentingan publik luas secara keseluruhan? Jika pendidikan terlalu mengabdi pada kepentingan publik yang lebih luas, maka identitas kultural akan terancam musnah. Dan sebaliknya, jika pendidikan terlalu berfokus pada nilai-nilai kultural yang bersifat partikular, maka nilai-nilai publik yang lebih luas juga dapat terancam.
Persoalan diperumit dengan problematika kebijakan yang terkait dengan kesejahteraan sosial seluruh warga negara. Banyak ahli berpendapat, bahwa kebijakan yang terkait dengan kesejahteraan sosial warga negara haruslah sensitif terhadap perbedaan kultur dan kepercayaan. Jadi diperlukan adanya kesadaran multikulturalisme di dalam kebijakan-kebijakan politik yang terkait dengan kesejahteraan sosial. Penerapan kesadaran semacam ini memang sangatlah sulit. Yang seringkali terjadi bukanlah para pemegang kebijakan publik memiliki kesadaran akan pentingnya penghargaan terhadap kultur minoritas, melainkan orang-orang yang berasal dari kultur minoritas dipaksa menyesuaikan diri dengan keinginan dan kultur para pemegang kebijakan publik. Dilihat secara khusus ataupun secara umum, persoalan pendidikan di dalam masyarakat multikultur masihlah merupakan problematika yang terbuka, dan menuntut refleksi lebih jauh.
Struktur dasar Ruang Privat
Di dalam masyarakat multikultur, anggota masyarakat yang mayoritas memandang keluarga dan komunitas mereka sebagai bagian integral dari keseluruhan masyarakat. Anggota masyarakat ini berfungsi secara maksimal di dalam dinamika sistem sosial yang ada. Sementara itu, anggota masyarakat yang berasal dari kultur minoritas mengalami nasib yang sama sekali berbeda. Bagi mereka, keluarga dan komunitas mereka merupakan bagian dari sistem sosial yang lain; yang berbeda. Mereka seolah berasal dari kebudayaan yang sama sekali berbeda dari kebudayaan yang dominan di dalam masyarakat.
Juga di dalam masyarakat multikultur, orang-orang yang berasal dari kultur dominan hidup harmonis sebagai bagian dari sistem sosial secara keseluruhan. Proses pendidikan di dalam keluarga pun relatif tidak bermasalah, karena nilai-nilai pendidikan di dalam keluarga searah dengan nilai-nilai yang berlaku di dalam masyarakat. Akan tetapi, hal yang sama kiranya tidak berlaku bagi orang-orang yang berasal dari kultur minoritas. Mereka harus menyeimbangkan antara pendidikan nilai-nilai kultural mereka yang khas di satu sisi, dan pendidikan berkaitan dengan nilai-nilai publik yang lebih luas di sisi lain. Dan bagi orang-orang yang berasal dari kultur minoritas, pernikahan tidak pernah bisa menjadi melulu soal individu. Pernikahan, bagi mereka, adalah soal pertukaran nilai antara satu kultur dengan kultur lainnya. Pernikahan adalah suatu proses asimilasi budaya yang tentunya menuntut banyak pertimbangan dari berbagai dimensi.
Pernikahan adalah salah satu cara yang paling efektif untuk melakukan proses asimilasi budaya. Proses ini membuat orang tidak lagi bersandar melulu pada nilai kultural mereka yang spesifik, tetapi juga mampu melihat realitas dari sudut pandang kultur yang berbeda. Rex berpendapat, bahwa proses asimilasi setidaknya memiliki empat akibat.[16] Pertama, proses asimilasi dapat menolong suatu kultur untuk mampu melepaskan diri dari isolasi sosial yang mungkin saja mereka alami. Kedua, proses asimilasi juga memungkinkan diselesaikannya berbagai dilema moral ataupun sosial, yang muncul akibat dari benturan budaya di dalam masyarakat multikultur. Ketiga, proses asimilasi juga memungkinkan kultur yang bersangkutan untuk menyampaikan kepentingan-kepentingan mereka dengan menggunakan ‘bahasa-bahasa’ yang bisa dimengerti secara publik, tepat karena interaksi di antara kultur yang berbeda tersebut telah terjadi sebelumnya. Dan keempat, proses asimilasi juga memungkinkan terciptanya nilai-nilai dan identitas baru, yang didasarkan pada interseksi berbagai nilai kultural yang beragam di dalam masyarakat multikultur.
Nilai dan aturan moral, yang merupakan hasil dari proses interseksi berbagai kultur yang beragam tersebut, nantinya akan menjadi sistem nilai yang bersifat otonom yang mampu menjelaskan pola ideal hubungan antar manusia, maupun hubungan dasar antara manusia dengan alam. Tentu saja, nilai hasil proses interseksi berbagai kultur tersebut tidaklah dapat menggantikan seluruhnya peran yang tadinya dimiliki oleh identitas kultural. Sebut saja bahwa, nilai-nilai masyarakat modern tidak akan pernah sepenuhnya dapat menggantikan nilai-nilai tradisional yang telah diyakini sebelumnya. Akan tetapi, nilai-nilai modern hasil interseksi beragam kultur tersebut tetap mampu berperan di dalam menciptakan solidaritas bagi masyarakat sebagai keseluruhan, maupun kenyamanan eksistensial bagi individu yang terkait. Dua hal yang kiranya menjadi kebutuhan utama dari sebuah masyarakat multikultur.
Nilai-nilai modern itulah yang, menurut Parsons, akan menjadi alat untuk mempertahankan pola-pola berlaku di masyarakat, dan mengatur tegangan-tegangan sosial yang muncul akibat benturan antar kultur.[17] Nilai-nilai tersebut memberikan identitas bagi individu-individu di dalam masyarakat multikultur, sekaligus membantu mereka untuk mengatasi berbagai problematika yang muncul, baik dalam konteks moral maupun material. Jika semua anggota masyarakat sudah menjalankan nilai-nilai tersebut ke dalam praktek sosial, maka nilai-nilai modern akan menjadi bagian integral dari masyarakat secara keseluruhan.
Jadi tetaplah harus disadari, keberadaan kultur minoritas tidak pernah dapat dipandang sebagai ancaman bagi kesatuan sebuah masyarakat. Keberadaan kultur minoritas, menurut Rex, juga tidak pernah dapat dianggap sebagai suatu celah bagi terjadinya ketidaksetaraan kultural.[18] Masyarakat multikultur haruslah menerima perbedaan kultural yang ada di dalamnya, sekaligus menjamin terciptanya kesempatan yang sama bagi setiap warganya. Jika yang pertama terlalu ditekankan, maka yang terjadi adalah ketidaksetaraan kultural yang akan bermuara pada kesenjangan ekonomi, sosial, maupun politik. Sementara, penekanan berlebihan pada aspek kedua justru akan menciptakan suatu bentuk pemerintahan totaliter baru yang tertutup pada semua bentuk perbedaan. Keduanya tidaklah boleh terjadi di dalam masyarakat multikultur.
Beberapa Butir Kesimpulan
Haruslah diakui, bahwa kultur minoritas memiliki cara hidup dan cara memandang dunia yang berbeda, jika dibandingkan dengan kultur dominan. Bagi beberapa orang, ide-ide yang muncul dari kultur minoritas terdengar revolusioner. Sementara, bagi beberapa orang lainnya, cara hidup kultur minoritas seolah terlihat sangat asing. Apakah ini berarti bahwa kultur minoritas itu berbahaya, dan harus ditekan?
Saya, dan begitu juga John Rex, berpendapat bahwa keberadaan kultur minoritas tidak bisa dicap sebagai suatu bahaya ataupun ancaman tertentu.[19] Hal ini berangkat dari suatu fakta sederhana, bahwa tidak ada satupun kultur di muka bumi ini yang sepenuhnya homogen. Kultur, dalam arti Marxian, selalu bisa ditafsirkan sebagai suatu bentuk perjuangan kelas (class struggle). Kelas pekerja telah membentuk semacam organisasi bersama yang berbasiskan pada solidaritas sosial untuk kemudian menantang tatanan sosial yang sudah mapan, sekaligus mempertanyakan otoritas kultur dominan yang sudah lama memerintah sebelumnya. Tentu saja, konflik tidak terelakkan. Akan tetapi, konflik disini adalah suatu proses yang harus ditempuh untuk merumuskan suatu bentuk identitas kultural yang baru. Tatanan sosial multikultural yang ada sekarang sebenarnya juga bisa dilihat dengan menggunakan kerangka teoritis ini.
Semua bentuk kultur bisa hidup bersama di dalam masyarakat multikultur. Hanya kultur yang menolak kesetaraan kesempatan dari individu ataupun kelompoklah yang tidak bisa menjadi bagian dari masyarakat multikultur. Masyarakat multikultur sekaligus juga adalah, dalam bahasa Rex, masyarakat yang menolak semua bentuk rasisme dan diskriminasi di dalam segala bentuknya.
Penutup
Saya akan menyimpulkan beberapa pendapat Rex pada bagian ini. Pertama, di dalam masyarakat multikultur, kita harus membedakan secara jelas antara ruang publik dan ruang privat. Ruang publik adalah ruang, di mana setiap individu diikat oleh satu set norma-norma yang menjamin kesetaraan kesempatan di dalam segala bidang. Sementara, ruang privat adalah ruang, di mana setiap keragaman kultur diberi tempat, dan diberi pengakuan sepenuhnya. Kedua, ruang publik mencakup dunia hukum, politik, dan ekonomi. Ruang publik mencakup pula pendidikan, sejauh pendidikan terkait dengan pembentukan moralitas publik yang harus dimiliki oleh semua warga negara.
Ketiga, pendidikan moral, terutama yang terkait dengan sosialisasi dan penanaman ajaran-ajaran religius, haruslah tetap berada di dalam ruang privat. Keempat, keberadaan nilai-nilai kultur minoritas tetaplah harus dipertahankan, karena nilai-nilai tersebutlah yang memberikan makna dan identitas bagi setiap orang yang hidup di dalam kelompok tersebut. Nilai-nilai tersebut mencakup mulai dari tata organisasi sosial yang ada di masyarakat, sampai keyakinan religius yang menjadi ciri unik dari kelompok kultur minoritas yang ada. Dan kelima, konflik dan benturan budaya antara kultur minoritas dan kultur dominan tidaklah terelakkan. Di dalam masyarakat multikultur, benturan tersebut haruslah dimaknai sebagai bagian dari dialog, dan dialog adalah satu-satunya cara yang mungkin, supaya masyarakat yang terdiri dari beragam kultur bisa hidup secara harmonis bersama.
Apakah Indonesia sudah siap mewujudkan masyarakat semacam itu? Saya rasa tidak. Kehidupan di Indonesia sekarang ini hampir sama sekali tidak memberikan peluang bagi kelompok minoritas untuk berkembang. Bahkan bisa dikatakan, bahwa masyarakat kita masihlah jatuh pada apa yang disebut Rex sebagai masyarakat totaliter yang menolak hampir semua bentuk perbedaan cara hidup, cara pandang, dan cara beragama. Cita-cita tentang kehidupan masyarakat multikultur yang harmonis masih jauh dari jangkauan tangan kita.

Selasa, 03 Januari 2012

Keanekaragaman Kelompok Sosial Dalam Masyarakat Multikultural

Standar Kompetensi : Menganalisis kelompok sosial dalam masyarakat multikultural
Kompetensi Dasar    : Menganalisis keanekaragaman kelompok sosial dalam masyarakat multikultural



A.   Ciri – Ciri Masyarakat Majemuk
ü  Seringkali memiliki subkebudayaan yang berbeda
ü  Memiliki struktur sosial yang terbagi ke dalam lembaga – lembaga yang bersifat nonkomplementer
ü  Kurang mengembangkan konsensus terhadap nilai – nilai yang bersifat dasar
ü  Relatif sering mengalami konflik
ü  Relatif mengalami proses integrasi secara terpaksa (corection) dan saling tergantung dalam bidang ekonomi
ü  Adanya dominasi politik

B.    Katagori Masyarakat Majemuk (JS Furnival)
·         Kompetisi seimbang
·         Mayoritas dominan
·         Minoritas dominan
·         Fragmentaris : banyak etnis dengan jumlah kecil sehingga tidak ada yang dominan

C.    Latar Belakang Kemajemukan Bangsa Indonesia
o    Latar belakang historis : perbedaan jalur perjalanan, proses adaptasi di beberapa tempat persinggahan yang berbeda nenek moyang Indonesia, dan perbedaan pengalaman dan pengetahuan
o    Kondisi geografis : perbedaan geografis menyebabkan perbedaan perwujudan kebudayaan yang berkaitan dengan kegiatan ekonomi
o    Keterbukaan terhadap kebudayaan luar

D.   Analisa Keanekaragaman Kelompok Sosial dalam Masyarakat Multikultural
  • Kelompok ras / etnik
Pengertian ras menyangkut aspek biologis (fisik) dan aspek sosial (kebiasaan)

Kelompok etnik menurut Francis : suatu komunitas yang menampilkan persamaan bahasa adat istiadat, kebiasaan, wilayah, bahkan sejarah. Etnik ditandai dengan persamaan warisan kebudayaan dan ikatan batin (wefeeling).
Menurut Koentjaraningrat : sama dengan suku bangsa

  • Kelompok agama dan kepercayaan

  • Kelompok sosial yang didasarkan gender

  • Kelompok sosial berdasarkan profesi

  • Kelompok sosial berdasarkan klan
Klan : suatu kelompok kekerabatan yang terdiri atas semua keturunan dari seorang nenek moyang yang diperhitungkan melalui garis keturunan sejenis (Koentjaraningrat)

  • Kelompok suku bangsa
Suku bangsa adalah kelompok masyarakat dengan corak kebudayaan yang khas (Koentjaraningrat)


  • Kelompok sosial berdasarkan perbedaan usia (senioritas)
 D.  Sarana Pemersatu Kemajemukan Masyarakat Indonesia
ü  Bahasa Indonesia
ü  Kebudayaan nasional
ü  Lagu Indonesia Raya
ü  Bendera merah – putih
ü  Pancasila
ü  Wilayah

E.  Kebhinekaan Bangsa Indonesia
·         Kesatuan wilayah Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau
·         Keanekaragaman budaya dan adat istiadat yang menghuni wilayah nusantara
Diposkan oleh Musthika Aksara

Macam-macam kelompok sosial

Standar Kompetensi      : Menganalisis kelompok sosial dalam dampak masyarakat multikultural.
Kompetensi Dasar         : Mendeskripsikan berbagai kelompok sosial alam masyarakat multikultural.

Kita memahami bahwasanya manusia adalah makhluk sosial, karena itu manusia tidak dapat hidup tanpa manusia lainnya. Untuk melangsung-kan kehidupannya manusia senantiasa hidup berkelompok.Ada kelom-pok berburu, kelompok tani, kelompok arisan, kelompok belajar, kelompok pecinta lingkungan hidup, dan lain-lain. Selanjutnya, seseorang mungkin dilahirkan di rumah sakit, dididik di sekolah formal, mencari nafkah dengan bekerja di suatu perusahaan, mengadakan kegiatan sosial dengan aktif di organisasi kemasyarakatan dan sebagainya diatur oleh institusi/organisasi tertentu. Dengan demikian, kehidupan manusia tidak lepas dari sosial kemasyarakatan yang dimanifestasikan dalam kelompok sosial maupun organisasi sosial.Selanjutnya perlu kita bahas secara mendalam mengenai kelompok sosial dan organisasi sosial.

1. Kelompok Sosial

Pengertian kelompok sosial yang pertama adalah suatu sistem sosial yang terdiri dari sejumlah orang yang berinteraksi satu sama lain dan terlibat dalam satu kegiatan bersama. Tentunya perlu dipertajam lebih lanjut mengenai pengertian ini karena interaksi saja tidak cukup, karena dua orang saja sudah dapat membentuk kelompok. Pengertian interaksi di sini haruslah diartikan sebagai interaksi tatap muka, di mana mereka terlibat dalam ruang dan waktu. Dari sinilah muncul pengertian kedua, yaitu sejumlah orang yang mengadakan hubungan tatap muka secara berkala karena mempunyai tujuan dan sikap bersama; hubungan-hubungan yang diatur oleh norma-norma; tindakan-tindakan yang dilakukan disesuaikan dengan kedudukan (status) dan peranan (role) masing-masing dan antara orang-orang itu terdapat rasa ketergantungan satu sama lain.

Penggolongan/Jenis/Tipe
1. Kelompok Sosial
Kelompok sosial adalah kesatuan sosial yang terdiri dari dua atau lebih individu yang mengadakan interaksi sosial agara ada pembagian tugas, struktur dan norma yang ada.
Berdasarkan pengertian tersebut kelompok sosial dapat dibagi menjadi beberapa, antara lain:
Kelompok Primer
Merupakan kelompok yang didalamnya terjadi interaksi sosial yang anggotanya saling mengenal dekat dan berhubungan erat dalam kehidupan.
Sedangkan menurut Goerge Homan kelompok primer merupakan sejumlah orang yang terdiri dari beberapa orang yang acapkali berkomunikasi dengan lainnya sehingga setiap orang mampu berkomunikasi secara langsung (bertatap muka) tanpa melalui perantara.
Misalnya: keluarga, RT, kawan sepermainan, kelompok agama, dan lain-lain.
b. Kelompok Sekunder
Jika interaksi sosial terjadi secara tidak langsung, berjauhan, dan sifatnya kurang kekeluargaan. Hubungan yang terjadi biasanya bersifat lebih objektiv.
Misalnya: partai politik, perhimpunan serikat kerja dan lain-lain.
c. Kelompok Formal
Pada kelompok ini ditandai dengan adanya peraturan atau Anggaran Dasar (AD), Anggaran Rumah Tangga (ART) yang ada. Anggotanya diangkat oleh organisasi.
Contoh dari kelompok ini adalah semua perkumpulan yang memiliki AD/ART.
d. Kelompok Informal
Merupakan suatu kelompok yang tumbuh dari proses interaksi, daya tarik, dan kebutuhan-kebutuhan seseorang. Keanggotan kelompok biasanya tidak teratur dan keanggotaan ditentukan oleh daya tarik bersama dari individu dan kelompok Kelompok ini terjadi pembagian tugas yang jelas tapi bersifat informal dan hanya berdasarkan kekeluargaan dan simpati
Misalnya: kelompok arisan.
e. Kelompok referensi
Merupakan kelompok sosial yang menjadi ukuran bagi seseorang (bukan anggota kelompok) untuk membentuk pribadi dan perilakunya. Seseorang itu telah menyetujui norma, sikap, dan tujuan dari kelompok tersebut.
f. Kelompok membership
Merupakan kelompok di mana setiap orang secara fisik menjadi anggota kelompok tersebut.
Ukuran utama bagi keanggotaan seseorang dengan interaksinya dengan kelompok sosial yang bersangkutan.
Keenam kelompok sosial di atas merupakan kelompok sosial yang teratur.
Adapun kelompok sosial yang tidak teratur adalah : kerumunan (crowd) dan publik dalam berbagai bentuk.

Selasa, 11 November 2008
http://sanggarkehidupan.blogspot.com/2008/11/kelompok-sosial-dan-organisasi-sosial.html


Senin, 02 Januari 2012

Sosiologi SMA kelas XI Smester 2

Kelompok Sosial dalam Masyarakat Multikultural

Pengertian masyarakat majemuk (plural society):
masyarakat yang terdiri dari berbagai kelompok.

Pengertian masyarakat multikultural (multicultural society):
masyarakat yang terdiri dari banyak kebudayaan dan antara pendukung kebudayaan saling menghargai satu sama lain.

Jadi, masyarakat multikultural merupakan masyarakat yang menganut multikulturalisme, yaitu paham yang beranggapan bahwa berbagai budaya yang berbeda memiliki kedudukan yang sederajat.


Ciri-ciri masyarakat majemuk menurut Vandenberg :
a. Segmentasi (terbagi) ke dalam kelompok-kelompok.
b. Kurang mengembangkan konsensus (kesepakatan bersama).
c. Sering mengalami konflik.
d. Integrasi sosial atas paksaan.
e. Dominasi (penguasaan) suatu kelompok atas kelompok lain.
Kondisi tersebut di atas berpengaruh terhadap munculnya potensi : konflik horizontal.
(UN 2010)

Istilah lain kemajemukan masyarakat adalah diferensiasi sosial (lihat materi diferensiasi sosial).

Keragaman karakter dan perilaku dari berbagai suku bangsa yang berada di Jakarta menggambarkan ciri kemajemukan dalam aspek : kebiasaan masyarakat.
(UN 2011)

Jenis-jenis masyarakat majemuk :
a. kompetisi seimbang : kelompok-kelompok yang ada mempunyai kekuasaan yang seimbang.
b. mayoritas dominan : kelompok terbesar mendominasi.
Contoh : Indonesia, umat Islam mayoritas dan memegang kekuasaan.
c. minoritas dominan : kelompok kecil yang mendominasi.
d. fragmentasi : masyarakat terdiri dari banyak kelompok yang kecil, tidak ada yang mendominasi.

Faktor penyebab kemajemukan masyarakat Indonesia :


Kemajemukan suku bangsa / kemajemukan budaya karena isolasi geografis karena bentuk wilayah.
(UN 2010)

Amalgamasi : perkawinan antar ras/suku.
Amalgamasi menyebabkan di masyarakat Indonesia dijumpai berbagai ras campuran.
(UN 2011)

Pengertian kelompok sosial :
himpunan manusia yang hidup bersama.

Kriteria himpunan manusia dapat disebut kelompok menurut Soerjono Soekanto :
1. Setiap anggota kelompok menyadari bahwa dia merupakan bagian dari kelompok yang bersangkutan.
2. Adanya hubungan timbal balik antara anggota yang satu dengan yang lain.
3. Adanya faktor yang dimiliki bersama, misal : politik.
4. Berstruktur, berkaidah, dan mempunyai pola perilaku.
5. Bersistem dan berproses.

Tipe kelompok sosial :
1. Kategori statistik : umur, contoh : kelompok remaja.
2. Kategori sosial : sadar akan ciri bersama, contoh : Ikatan Dokter Indonesia (IDI).
3. Kelompok sosial : kesatuan manusia yang hidup bersama dan saling berinteraksi, contoh : keluarga.
4. Kelompok tidak teratur : berkumpulnya orang pada tempat yang sama karena pusat perhatian yang sama, contoh : orang antri karcis.
5. Organisasi formal : kelompok yang sengaja dibentuk untuk mencapai tujuan tertentu dan telah ditentukan terlebih dahulu, contoh : birokrasi.

Kelompok genealogis : kelompok yang terbentuk berdasarkan hubungan sedarah.
Kelompok genealogis memiliki tingkat solidaritas yang tinggi karena adanya keyakinan tentang kesamaan : nenek moyang.
(UN 2011)

Komunitas : kelompok sosial yang terbentuk berdasarkan lokalitas.
Contoh :
Beberapa keluarga yang berdekatan membentuk Rukun Tetangga. Selanjutnya sejumlah Rukun Tetangga membentuk RW (Rukun Warga)
(UN 2010)

Ciri-ciri kelompok paguyuban :
- terdapat ikatan batin yang kuat antaranggota
- hubungan antar anggota bersifat informal


Contoh paguyuban : Ikatan Mahasiswa Minang di Universitas Indonesia.

Ciri-ciri kelompok patembayan :
- hubungan antaranggota bersifat formal
- memiliki orientasi ekonomi dan tidak kekal
(UN 2011)

Primordialisme :  paham yang memegang teguh hal-hal yang dibawa sejak lahir, baik mengenai tradisi, kepercayaan, maupun segala sesuatu yang ada di dalam lingkungan pertamanya.

Contoh perilaku sosial primordial :
a. Membentuk partai politik berdasarkan paham, ideologi, atau keterikatan pada faktor-faktor seperti suku bangsa, agama, dan ras
b. Memberikan prioritas atau perlakuan istimewa kepada orang-orang yang berasalk dari daerah, suku bangsa, agama, atau ras tertentu.
(UN 2010)

Etnosentrisme : sikap yang cenderung bersifat subyektif dalam memandang budaya orang lain. Memandang budaya orang lain dari kacamata budayanya.

Seorang ekstremis menganggap bahwa hanya pendapat kelompok sendirilah yang benar dan menolak pendapat dari luar kelompoknya. Dalam kehidupan multikultural, sikap ekstrem tersebut dapaty merusak upaya untuk memperkuat proses : integrasi.
(UN 2010)
 Sumber:blog sosiologi SMA

Minggu, 25 Desember 2011

Prilaku Hubungan Sosial dan Solidaritas Antar Teman pada Prilaku Gaya Hidup Remaja

Standar Kompetensi : Menganalisis kelompok sosial dalam masyarakat multikulturalKompetensi Dasar    : Menganalisis perkembangan kelompok sosial dalam masyarakat multikultural

Pada masa remaja, terdapat banyak hal baru yang terjadi, dan biasanya lebih bersifat menggairahkan, karena hal baru yang mereka alami merupakan tanda-tanda menuju kedewasaan. Dari masalah yang timbul akibat pergaulan, keingin tahuan tentang asmara dan seks, hingga masalah-masalah yang bergesekan dengan hukum dan tatanan sosial yang berlaku di sekitar remaja.

Hal-hal yang terakhir ini biasanya terjadi karena banyak faktor, tetapi berdasarkan penelitian, jumlah yang terbesar adalah karena "tingginya" rasa solidaritas antar teman, pengakuan kelompok, atau ajang penunjukkan identitas diri. Masalah akan timbul pada saat remaja salah memilih arah dalam berkelompok.

Banyak ahli psikologi yang menyatakan bahwa masa remaja merupakan masa yang penuh masalah, penuh gejolak, penuh risiko (secara psikologis), over energi, dan lain sebagainya, yang disebabkan oleh aktifnya hormon-hormon tertentu. Tetapi statement yang timbul akibat pernyataan yang stereotype dengan pernyataan diatas, membuat remaja pun merasa bahwa apa yang terjadi, apa yang mereka lakukan adalah suatu hal yang biasa dan wajar.

Minat untuk berkelompok menjadi bagian dari proses tumbuh kembang yang remaja alami. Yang dimaksud di sini bukan sekadar kelompok biasa, melainkan sebuah kelompok yang memiliki kekhasan orientasi, nilai-nilai, norma, dan kesepakatan yang secara khusus hanya berlaku dalam kelompok tersebut. Atau yang biasa disebut geng. Biasanya kelompok semacam ini memiliki usia sebaya atau bisa juga disebut peer group.

Demi kawan yang menjadi anggota kelompok ini, remaja bisa melakukan dan mengorbankan apa pun, dengan satu tujuan, Solidaritas. Geng, menjadi suatu wadah yang luar biasa apabila bisa mengarah terhadap hal yang positif. Tetapi terkadang solidaritas menjadi hal yang bersifat semu, buta dan destruktif, yang pada akhirnya merusak arti dari solidaritas itu sendiri.

Demi alasan solidaritas, sebuah geng sering kali memberikan tantangan atau tekanan-tekanan kepada anggota kelompoknya (peer pressure) yang terkadang berlawanan dengan hukum atau tatanan sosial yang ada. Tekanan itu bisa saja berupa paksaan untuk menggunakan narkoba, mencium pacar, melakukan hubungan seks, melakukan penodongan, bolos sekolah, tawuran, merokok, corat-coret tembok, dan masih banyak lagi.

Secara individual, remaja sering merasa tidak nyaman dalam melakukan apa yang dituntutkan pada dirinya. Namun, karena besarnya tekanan atau besarnya keinginan untuk diakui, ketidak berdayaan untuk meninggalkan kelompok, dan ketidak mampuan untuk mengatakan "tidak", membuat segala tuntutan yang diberikan kelompok secara terpaksa dilakukan. Lama kelamaan prilaku ini menjadi kebiasaan, dan melekat sebagai suatu karakter yang diwujudkan dalam berbagai prilaku negatif.

Kelompok atau teman sebaya memiliki kekuatan yang luar biasa untuk menentukan arah hidup remaja. Jika remaja berada dalam lingkungan pergaulan yang penuh dengan "energi negatif" seperti yang terurai di atas, segala bentuk sikap, perilaku, dan tujuan hidup remaja menjadi negatif. Sebaliknya, jika remaja berada dalam lingkungan pergaulan yang selalu menyebarkan "energi positif", yaitu sebuah kelompok yang selalu memberikan motivasi, dukungan, dan peluang untuk mengaktualisasikan diri secara positif kepada semua anggotanya, remaja juga akan memiliki sikap yang positif. Prinsipnya, perilaku kelompok itu bersifat menular.

Motivasi dalam kelompok (peer motivation) adalah salah satu contoh energi yang memiliki kekuatan luar biasa, yang cenderung melatarbelakangi apa pun yang remaja lakukan. Dalam konteks motivasi yang positif, seandainya ini menjadi sebuah budaya dalam geng, barangkali tidak akan ada lagi kata-kata "kenakalan remaja" yang dialamatkan kepada remaja. Lembaga pemasyarakatan juga tidak akan lagi dipenuhi oleh penghuni berusia produktif, dan di negeri tercinta ini akan semakin banyak orang sukses berusia muda. Remaja juga tidak perlu lagi merasakan peer pressure, yang bisa membuat mereka stres.

Secara teori diatas, remaja akan menjadi pribadi yang diinginkan masyarakat. Tetapi tentu saja hal ini tidak dapat hanya dibebankan pada kelompok ataupun geng yang dimiliki remaja. Karena remaja merupakan individu yang bebas dan masing-masing tentu memiliki keunikan karakter bawaan dari keluarga. Banyak faktor yang juga dapat memicu hal buruk terjadi pada remaja.

Seperti yang telah diuraikan diatas, kelompok remaja merupakan sekelompok remaja dengan nilai, keinginan dan nasib yang sama. Contoh, banyak sorotan yang dilakukan publik terhadap kelompok remaja yang merupakan kumpulan anak dari keluarga broken home. Kekerasan yang telah mereka alami sejak masa kecil, trauma mendalam dari perpecahan keluarga, akan kembali menjadi pencetus kenakalan dan kebrutalan remaja.

Tetapi, masa remaja memang merupakan masa dimana seseorang belajar bersosialisasi dengan sebayanya secara lebih mendalam dan dengan itu pula mereka mendapatkan jati diri dari apa yang mereka inginkan.

Hingga, terlepas dari itu semua, remaja merupakan masa yang indah dalam hidup manusia, dan dalam masa yang akan datang, akan menjadikan masa remaja merupakan tempat untuk memacu landasan dalam menggapai kedewasaan.

Standar Isi Materi SMA

A. Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar
Kelas  X,  Semester 1 
Standar Kompetensi Kompetensi Dasar
1. Memahami perilaku keteraturan hidup sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat 1.1 Menjelaskan fungsi  sosiologi sebagai ilmu yang mengkaji hubungan masyarakat dan lingkungan
1.2 Mendeskripsikan nilai dan norma yang   berlaku dalam masyarakat
1.3 Mendeskripsikan proses interaksi sosial sebagai dasar pengembangan pola keteraturan dan dinamika kehidupan sosial
Kelas X,  Semester 2
Standar Kompetensi Kompetensi Dasar
2. Menerapkan nilai dan norma dalam proses pengembangan  kepribadian  2.1 Menjelaskan sosialisasi sebagai proses dalam pembentukan kepribadian
2.2 Mendeskripsikan terjadinya perilaku menyimpang dan sikap-sikap anti sosial
2.3 Menerapkan pengetahuan sosiologi dalam kehidupan bermasyarakat
Kelas XI, Semester 1
Standar Kompetensi Kompetensi Dasar
1. Memahami struktur sosial serta berbagai faktor penyebab konflik dan mobilitas social 1.1 Mendeskripsikan bentuk-bentuk struktur sosial dalam fenomena kehidupan
1.2 Menganalisis faktor penyebab konflik sosial dalam masyarakat
1.3 Menganalisis hubungan antara struktur sosial dengan mobilitas sosial

Kelas XI,  Semester 2
Standar Kompetensi Kompetensi Dasar
2.   Menganalisis kelompok sosial dalam masyarakat multikultural 2.1 Mendeskripsikan berbagai kelompok sosial dalam masyarakat multikultural
2.2 Menganalisis perkembangan kelompok sosial dalam masyarakat multikultural
2.3 Menganalisis keanekaragaman kelompok sosial dalam masyarakat multikultural
Kelas XII,  Semester 1
Standar Kompetensi Kompetensi Dasar
1. Memahami dampak perubahan  social 1.1 Menjelaskan proses perubahan sosial di masyarakat
1.2 Menganalisis dampak perubahan sosial terhadap kehidupan masyarakat
2. Memahami lembaga sosial 2.1 Menjelaskan hakikat lembaga sosial
2.2 Mengklasifikasikan tipe-tipe lembaga sosial
2.3 Mendeskripsikan peran dan fungsi lembaga sosial

Kelas XII, Semester 2
Standar Kompetensi Kompetensi Dasar
3. Mempraktikkan metode penelitian social 3.1 Merancang metode penelitian sosial  secara sederhana
3.2 Melakukan penelitian sosial secara sederhana
3.3 Mengkomunikasikan hasil penelitian sosial secara sederhana


B. Arah Pengembangan
Standar kompetensi dan kompetensi dasar menjadi arah dan landasan untuk mengembangkan materi pokok, kegiatan pembelajaran, dan indikator pencapaian kompetensi untuk penilaian. Dalam merancang kegiatan pembelajaran dan penilaian perlu memperhatikan Standar Proses dan Standar Penilaian.

Senin, 19 Desember 2011

Pengertian Media Pembelajaran


Oleh : Wijaya Kusuma
Kata media berasal dari kata medium yang secara harfiah artinya perantara atau pengantar. Banyak pakar tentang media pembelajaran yang memberikan batasan tentang pengertian media. Menurut EACT yang dikutip oleh Rohani (1997 : 2) “media adalah segala bentuk yang dipergunakan untuk proses penyaluran informasi”. Sedangkan pengertian media menurut Djamarah (1995 : 136) adalah “media adalah alat bantu apa saja yang dapat dijadikan sebagai penyalur pesan guna mencapai Tujuan pembelajaran”.

Selanjutnya ditegaskan oleh Purnamawati dan Eldarni (2001 : 4) yaitu :
“media adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan dari pengirim ke penerima sehingga dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian dan minat siswa sedemikian rupa sehingga terjadi proses belajar”.

a. Jenis – jenis Media pembelajaran
Banyak sekali jenis media yang sudah dikenal dan digunakan dalam penyampaian informasi dan pesan – pesan pembelajaran. Setiap jenis atau bagian dapat pula dikelompokkan sesuai dengan karakteristik dan sifat – sifat media tersebut. Sampai saat ini belum ada kesepakatan yang baku dalam mengelompokkan media. Jadi banyak tenaga ahli mengelompokkan atau membuat klasifikasi media akan tergantung dari sudut mana mereka memandang dan menilai media tersebut.
Penggolongan media pembelajaran menurut Gerlach dan Ely yang dikutip oleh Rohani (1997 : 16) yaitu :
1. Gambar diam, baik dalam bentuk teks, bulletin, papan display, slide, film strip, atau overhead proyektor.
2. Gambar gerak, baik hitam putih, berwarna, baik yang bersuara maupun yang tidak bersuara.
3. Rekaman bersuara baik dalam kaset maupun piringan hitam.
4. Televisi
5. Benda – benda hidup, simulasi maupun model.
6. Instruksional berprograma ataupun CAI (Computer Assisten Instruction).

Penggolongan media yang lain, jika dilihat dari berbagai sudut pandang adalah sebagai berikut :
1. Dilihat dari jenisnya media dapat digolongkan menjadi media Audio, media Visual dan media Audio Visual.
2. Dilihat dari daya liputnya media dapat digolongkan menjadi media dengan daya liput luas dan serentak, media dengan daya liput yang terbatas dengan ruang dan tempat dan media pengajaran individual.
3. Dilihat dari bahan pembuatannya media dapat digolongkan menjadi media sederhana (murah dan mudah memperolehnya) dan media komplek.
4. Dilihat dari bentuknya media dapat digolongkan menjadi media grafis (dua dimensi), media tiga dimensi, dan media elektronik.

b. Manfaat media pembelajaran
Media pembelajaran sebagai alat bantu dalam proses belajar dan pembelajaran adalah suatu kenyataan yang tidak bisa kita pungkiri keberadaannya. Karena memang gurulah yang menghendaki untuk memudahkan tugasnya dalam menyampaikan pesan – pesan atau materi pembelajaran kepada siswanya. Guru sadar bahwa tanpa bantuan media, maka materi pembelajaran sukar untuk dicerna dan dipahami oleh siswa, terutama materi pembelajaran yang rumit dan komplek.
Setiap materi pembelajaran mempunyai tingkat kesukaran yang bervariasi. Pada satu sisi ada bahan pembelajaran yang tidak memerlukan media pembelajaran, tetapi dilain sisi ada bahan pembelajaran yang memerlukan media pembelajaran. Materi pembelajaran yang mempunyai tingkat kesukaran tinggi tentu sukar dipahami oleh siswa, apalagi oleh siswa yang kurang menyukai materi pembelajaran yang disampaikan.
Secara umum manfaat media pembelajaran menurut Harjanto (1997 : 245) adalah :
1) Memperjelas penyajian pesan agar tidak terlalu verbalistis ( tahu kata – katanya, tetapi tidak tahu maksudnya)
2) Mengatasi keterbatasan ruang, waktu dan daya indera.
3) Dengan menggunakan media pembelajaran yang tepat dan bervariasi dapat diatasi sikap pasif siswa.
4) Dapat menimbulkan persepsi yang sama terhadap suatu masalah.

Selanjutnya menurut Purnamawati dan Eldarni (2001 : 4) yaitu :

1) Membuat konkrit konsep yang abstrak, misalnya untuk menjelaskan peredaran darah.
2) Membawa obyek yang berbahaya atau sukar didapat di dalam lingkungan belajar.
3) Manampilkan obyek yang terlalu besar, misalnya pasar, candi.
4) Menampilkan obyek yang tidak dapat diamati dengan mata telanjang.
5) Memperlihatkan gerakan yang terlalu cepat.
6) Memungkinkan siswa dapat berinteraksi langsung dengan lingkungannya.
7) Membangkitkan motivasi belajar
8) Memberi kesan perhatian individu untuk seluruh anggota kelompok belajar.
9) Menyajikan informasi belajar secara konsisten dan dapat diulang maupun disimpan menurut kebutuhan.
10) Menyajikan informasi belajar secara serempak (mengatasi waktu dan ruang)
11) Mengontrol arah maupun kecepatan belajar siswa.


c. Prinsip - prinsip memilih media pembelajaran
Setiap media pembelajaran memiliki keunggulan masing – masing, maka dari itulah guru diharapkan dapat memilih media yang sesuai dengan kebutuhan atau tujuan pembelajaran. Dengan harapan bahwa penggunaan media akan mempercepat dan mempermudah pencapaian tujuan pembelajaran.
Ada beberapa prinsip yang perlu diperhatikan dalam pemilihan media pembelajaran, yaitu :
1) Harus adanya kejelasan tentang maksud dan tujuan pemilihan media pembelajaran. Apakah pemilihan media itu untuk pembelajaran, untuk informasi yang bersifat umum, ataukah sekedar hiburan saja mengisi waktu kosong. Lebih khusus lagi, apakah untuk pembelajaran kelompok atau individu, apakah sasarannya siswa TK, SD, SLTP, SMU, atau siswa pada Sekolah Dasar Luar Biasa, masyarakat pedesaan ataukah masyarakat perkotaan. Dapat pula tujuan tersebut akan menyangkut perbedaan warna, gerak atau suara. Misalnya proses kimia (farmasi), atau pembelajaran pembedahan (kedokteran).
2) Karakteristik Media Pembelajaran. Setiap media pembelajaran mempunyai karakteristik tertentu, baik dilihat dari keunggulannya, cara pembuatan maupun cara penggunaannya. Memahami karakteristik media pembelajaran merupakan kemampuan dasar yang harus dimiliki guru dalam kaitannya pemilihan media pembelajaran. Disamping itu memberikan kemungkinan pada guru untuk menggunakan berbagai media pembelajaran secara bervariasi
3) Alternatif Pilihan, yaitu adanya sejumlah media yang dapat dibandingkan atau dikompetisikan. Dengan demikian guru bisa menentukan pilihan media pembelajaran mana yang akan dipilih, jika terdapat beberapa media yang dapat dibandingkan.
Selain yang telah penulis sampaikan di atas, prinsip pemilihan media pembelajaran menurut Harjanto (1997 : 238) yaitu:
Tujuan, Keterpaduan (validitas),Keadaan peserta didik, Ketersediaan,Mutu teknis, Biaya
Selanjutnya yang perlu kita ingat bersama bahwa tidak ada satu mediapun yang sifatnya bisa menjelaskan semua permasalahan atau materi pembelajaran secara tuntas.