Label

Jumat, 16 Desember 2011

Agama dalam Teori Primitive Classification Marcell Mauss dan Emile Durkheim

Marcel Mauss merupakan keponakan dari Emile Durkheim yang sangat terpengaruh oleh pandangan-pandangannya mengenai masyarakat. Mauss meneliti tentang kehidupan Eskimo meskipun dia sendiri belum pernah mengunjunginya, tetapi melalui berbagai literatur yang ada. Mauss melihat ritual-ritual yang dilakukan oleh kelompok-kelompok Eskimo yang ia bagi dalam morfologi musim panas dam morfologi musim dingin. Menurut Mauss, apa yang mereka lakukan mempererat integrasi di antara mereka.
Emile Durkheim merupakan pencetus sosiologi modern asal Prancis. Durkheim diingat karyanya tentang masyarakat primitif (non Barat) dan esainya Klasifikasi Primitif bersama Mauss. Durkheim meneliti peranan agama dan mitologi dalam membentuk pandangan dunia dan kepribadian manusia dalam masyarakat yang sangat mekanis.
Apa hubungannya dengan fakta sosial?
Durkheim berpendapat bahwa subyek kajian sosiologi harus dipersempit pada sebuah bidang yang dapat diuraikan guna membedakan sosiologi dengan studi sosial yang lain. Untuk itu, Durkheim mengusulkan bahwa harus membatasi sosiologi pada kajian analisis tentang fakta social yang ia jelaskan dalam dua cara.
Definisi pertama yang ia berikan pada fakta sosial adalah setiap cara atau arah tindakan yang mampu menggerakkan pada individu dari tekanan eksternal, seperti sistem keuangan, bahasa, dan tindakan yang lain. Kemudian ia menambahkan, setiap tindakan umum di dalam masyarakat. Hal tersebut meliputi institusi agama, tradisi kultural, dan kebiasaan regional. Durkheim dalam definisi di ini menggunakan paksaan sosial untuk mengidentifikasi alasan di balik tindakan-tindakan yang kemudian menjadi fakta sosial. Tingkat paksaan tersebut akan terasa berbeda-beda. Paksaan sosial ini memegang kekuatan yang memaksa di atas individu.
Definisi kedua Durkheim mengenai fakta sosial mengambil pendekatan yang lebih umum terhadap fakta sosial. Ini mengacu pada berbagai tindakan atau pandangan umum di dalam masyarakat sepanjang memenuhi ketentuan bahwa fakta tersebut jelas-jelas tidak tergantung pada individu. Fenomena tersebut juga mempunyai efek yang memaksa.
Apa hubungannya dengan agama?
Emile Durkheim sebagai salah seorang Sosiolog abad ke-19, menemukan hakikat agama yang pada fungsinya sebagai sumber dan pembentuk solidaritas mekanis. Ia berpendapat bahwa agama adalah suatu pranata yang dibutuhkan oleh masyarakat untuk mengikat individu menjadi satu-kesatuan melalui pembentukan sistem kepercayaan dan ritus. Melalui simbol-simbol yang sifatnya suci. Agama mengikat orang-orang kedalam berbagai kelompok masyarakat yang terikat satu kesamaan. Durkheim membedakan antara solidaritas mekanis dengan solidaritas organis. Dengan konsep ini ia membedakan wujud masyarakat modern dan masyarakat tradisional. Ide tentang masyarakat adalah jiwa dari agama. Berangkat dari kajiannya tentang paham totemisme masyarakat primitif di Australia, Durkheim berkesimpulan bahwa bentuk-bentuk dasar agama meliputi :
1. Pemisahan antara `yang suci’ dan `yang profane’
2. Permulaan cerita-cerita tentang dewa-dewa
3. Macam-macam bentuk ritual.
Menurut teori Durkheim, Agama bukanlah `sesuatu yang di luar’, tetapi `ada di dalam masyarakat’ itu sendiri, agama terbatas hanya pada seruan kelompok untuk tujuan menjaga kelebihan-kelebihan khusus kelompok tersebut. Oleh karena itu, agama dengan syariatnya tidak mungkin berhubungan dengan seluruh manusia. Kritikan lain yang dikemukakan oleh Emile Durkheim; bahwa Animisme dan Fetishisme yang bersifat individualistik, tidak dapat menjelaskan agama sebagai sebuah fenomena sosial dan kelompok.
Menurut Durkheim, Intelektualisme yang meyakini bahwa jelmaan pertama kali agama dalam bentuk kelompok adalah ritual nenek moyang, yang menyembah para ruh nenek moyang mereka. Kedudukan agama di sini sama dengan kedudukan kekerabatan, kesukuan, dan komunitas-komunitas lain yang masih diikat dengan nilai-nilai primordial. (Sri Fitri Ana, Antropologi, Universitas Indonesia).
IV. Emile Durkheim: Tentang Relasi Agama dan Perubahan Sosial
Agama, menurut Durkheim, didefinisikan sebagai suatu “sistem kepercayaan dan praktek yang telah dipersatukan yang berkaitan dengan hal-hal yang kudus, kepercayaan-kepercayaan dan praktek-praktek yang bersatu menjadi suatu komunitas moral yang tunggal.” Definisi ini menyiratkan dua unsur yang penting, yang menjadi syarat adanya agama. Prasyarat itu adalah “sifat kudus” agama dan “praktek-praktek ritual” agama.
Bertitik tolak dari pengertian atau pengartian yang dikatakan sebelumnya, agama dengan demikian tidak serta merta melibatkan konsep adanya suatu makhluk supranatural. Pada titik ini dapat kita lihat bahwa agama bukan semata-mata ditilik dari substansi isinya, melainkan dari bentuknya, yang melibatkan cirinya yang bersifat kudus dan yang terungkapkan dalam “praktek-praktek ritual” agama. Durkheim juga melihat agama sebagai sesuatu yang selalu memiliki hubungan dengan masyarakatnya, dan memiliki sifat yang historis.

a. ‘Sifat Kudus’ Agama
‘Sifat kudus’ yang dimaksud Durkheim dalam kaitannya dengan pembahasan agama tidak dalam artinya yang bersifat teologis, melainkan sosiologis. Sifat kudus itu dapat diartikan sebagai sesuatu yang “kudus” itu “dikelilingi oleh ketentuan-ketentuan tata cara keagamaan dan larangan-larangan, yang memaksakan pemisahan radikal dari yang duniawi.” Sifat kudus ini dibayangkan sebagai suatu kesatuan yang berada di atas segala-galanya. Durkheim menyambungkan lahirnya pengudusan ini dengan perkembangan masyarakat. Durkheim kemudian menjelaskan fenomena totemisme untuk menjelaskan fenomen keagamaan. Di dalam totemisme, ada tiga obyek yang dianggap kudus, yaitu totem, lambang totem dan para anggota suku itu sendiri. Pada totemisme Australia, benda-benda yang berada di dalam alam semesta dianggap sebagai bagian dari kelompok totem tertentu, sehingga memiliki tempat tertentu di dalam organisasi masyarakat. Karena itu semua benda di dalam totemisme Australia memiliki sifat yang kudus. Totemisme Australia tidak memisahkan secara jelas antara obyek-obyek totem dengan kekuatan kudusnya. Lain halnya dengan Totemisme di Amerika Utara dan Melanesia. Di wilayah ini, kekuatan kudus itu jelas terlihat berbeda dari obyek-obyek totemnya, dan disebut berdasarkan nama yang disematkan padanya.
Totemisme yang ada pada masyarakat tertentu, oleh Durkheim, dikembangkan dan dijadikan suatu titik pijak untuk menjelaskan fenomena moralitas yang ada dalam masyarakat. Ia menyatakan bahwa ‘Sifat kudus’ itu juga terdapat dalam aturan moral. Sebuah aturan moral hanya bisa hidup apabila ia memiliki sifat “kudus”, sehingga setiap upaya untuk menghilangkan sifat “kudus” dari moralitas akan menjurus kepada penolakan dari setiap bentuk moral. Dengan demikian, “kekudusan”-pun merupakan prasyarat bagi suatu aturan moral untuk dapat hidup di dalam masyarakat. Hal tersebut menunjukkan bahwa “kekudusan” suatu obyek tidak tergantung dari sifat-sifat obyek itu an sich, tetapi tergantung dari pemberian sifat “kudus” itu oleh masyarakatnya.

b. Ritual Agama
Agama juga selalu melibatkan ritual tertentu. Praktek ritual ini ditentukan oleh suatu bentuk lembaga yang pasti. Ada dua jenis praktek ritual yang terjalin dengan sangat erat satu sama lain. Pertama, praktek ritual yang negatif, yang berwujud dalam bentuk pantangan-pantangan atau larangan-larangan dalam suatu upacara keagamaan. Praktek-praktek ritual yang negatif itu memiliki fungsi untuk tetap membatasi antara yang kudus dan yang duniawi. Pemisahan ini menjadi dasar dari eksistensi “kekudusan” itu. Praktek tersebut menjamin agar kedua dunia, yaitu yang “kudus” dan yang “profan” tidak saling mengganggu atau menekan satu sama lain. Contohnya adalah liburan pada hari raya besar keagamaan tertentu. Kedua, praktek ritual yang positif. Hal ini berwujud dalam bentuk upacara-upacara keagamaan itu sendiri dan merupakan intinya. Adapun praktek-praktek ritual yang positif -yang adalah upacara keagamaan itu sendiri-, berupaya menyatukan diri dengan keimanan secara lebih khusuk, dan dengan demikian berfungsi untuk memperbaharui tanggung-jawab seseorang terhadap ideal-ideal keagamaan.

c. Fungsi Agama
Teori keagamaan Emile Durkheim menyatakan fungsi agama sebagai pemersatu masyarakat. Agama bagi Durkheim adalah sebuah kekuatan kolektif dari masyarakat yang mengatasi individu-individu dalam masyarakat. Setiap individu, sebaliknya, merepresentasikan masyarakat dalam agama, yaitu melalui ketaantan kepada aturan-aturan keagamaan, misalnya dengan menjalankan ritual-ritual keagamaan. Agama, dengan demikian, menjadi tempat bersatunya individu-individu, bahkan ketika terjadi banyak perbedaan antara individu karena agama sebagai kekuatan kolektif masyarakat bersifat mengatasi kekuatan-kekuatan individual. Selain itu, agama juga turut menjawab masalah, persoalan dan kebutuhan hidup pribadi atau individu tertentu. Dalam agama, individu merasa dikuatkan dalam menghadapi derita, frustrasi, dan kemalangan. Melalui upacara keagamaan, individu dapat membangun hubungan yang khusus dengan Yang Ilahi. Ritus-ritus itu memberi jaminan akan hidup, kebebasan dan tanggung jawab atas nilai-nilai moral dalam masyarakat. Tidak hanya itu, agama juga berfungsi untuk menjalankan dan menegakkan serta memperkuat perasaan dan ide kolektif yang menjadi ciri persatuan masyarakat. Dengan demikian menjadi jelas bahwa agama dapat menjadi kekuatan yang menyatukan masyarakat, bahkan jika terjadi banyak perbedaan antar individu atau golongan, apalagi jika terdapat artikulasi kepentingan-kepentingan yang membuahkan ideologi bersama. Dalam hal menyatukan masyarakat ritual-ritual keagamaan mempunyai tempat yang vital. Melalui ritual-ritual keagamaan individu-individu dalam masyarakat disatukan oleh kekuatan moral dan sentimen moral maupun sosial .
Dengan berdasar pada pandangan Emile Durkheim di atas, dapatlah ditarik suatu kesimpulan bahwa, agama dengan segala ritual yang ada dan hidup serta yang dijalankan oleh para pemeluknya sesungguhnya dapat berdampak pada perubahan sosial dan membentuk tatanan masyarakat yang terintegrasi. Fenomena agama dalam dari perspektif Durkheim menjadi sangat positif yang mana melekatkan agama dengan penciptaan suatu masyarakat yang harmonis dan yang mengutamakan serta membangkitkan semangat kebersamaan dalam perkembangan dan perubahan kehidupan bermasyarakat.
v.Penutup
Agama memang tidak dapat bertahan jika agama tidak berani menggaungkan suaranya dan mempunyai disposisi yang memihak masyarakat. Faktanya mayoritas masyarakat adalah orang biasa, ‘tidak mempunyai kekuatan’ yang didominasi oleh sekelompok kecil saja kalangan elit. Agama dengan demikian tidak dapat dipandang melulu sebagai tempat pelarian kaum terdesak dan akan hilang dengan membaiknya keadaan masyarakat dengan alasan: Pertama, dari pengalaman gerakan keagamaan, di mana suatu wilayah kekuasaan hanya dihidupi oleh kaum elit atau masyarakat kelas atas, kita mengetahui bahwa justru agama adalah sumber motivasi dan kekuatan yang membebaskan orang dari keadaan tertindas menuju keadaan merdeka. Kecenderungan merosotnya penghayatan keagamaan dalam masyarakat mapan menjadi petunjuk bahwa agama harus senantiasa memperbaharui dan membenahi diri agar ‘pesan kenabiannya’ tetap dapat diterima masyarakat dari berbagai jaman. Agama dengan demikian menjadi sarana bagi tercapainya bonum commune. Kedua, agama sebagai kekuatan pemersatu masyarakat justru amat dibutuhkan saat ini dimana nilai-nilai kolektivitas atau kebersamaan digerus bahkan dihancurkan oleh nilai-nilai individualis-pragmatis. Agama diperlukan agar masyarakat tidak terpecah belah dalam aneka kepentingan yang tidak dapat diartikulasikan bersama. Norma-norma dan nilai-nilai agama hendaknya dapat menjadi pegangan dan petunjuk bagi kehidupan bersama yang lebih harmonis. Lebih dari itu, agama hendaknya memelopori masyarakat yang terbuka terhadap perubahan. Sebab agama dan nilai-nilai sejati hanya dan justru akan mempertahankan diri apabila mampu menghadapi dan menyikapi perubahan sosial secara positif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar