Label

Jumat, 16 Desember 2011

Karl Marx "Tentang Relasi Agama dan Perubahan Sosial"

Dalam kerangka memahami dan menganalisa hubungan antara agama dan perubahan sosial, menurut Karl Marx, maka terlebih dahulu perlulah melihat garis besar gagasan dan pandangannya tentang agama.
A. Agama Sebagai Alat Penindasan
Pemahaman terhadap pemikiran Marx mau tidak mau perlu memahami dan mengikuti pemikirannya dan memasukkan agama ke dalam suatu kerangka kehidupan bermasyarakat. Marx memang bahwa agama hanyalah merupakan suatu gejala sosial yang berupaya meyakinkan masyarakat kelas bawah yang kemudian berdampak pada kelanggengan kekuasaan kelas atas atau kelompok yang berkuasa. Dengan jelas ia katakan bahwa ”agama adalah candu rakyat.” Pernyataan Marx ini menyatakan dan memuat suatu serta sering diartikan sebagai tuduhan bahwa agama dengan menjanjikan kebahagiaan di alam sesudah kematian, di dunia lain dari kehidupan manusia, membuat orang miskin dan tertindas semakin tertindas serta menerima nasib mereka daripada memberontak terhadapnya.
Kenyataan yang demikian dengan jelas menggambarkan suatu warna atau gejaka ketertindasan. Penindasan yang dipahami oleh Marx adalah suatu perilaku eksploitatif-ekonomistik, di mana manusia dijadikan objek yang bisa dimanfaatkan untuk kepentingan tertentu. Marx yakin bahwa orang jatuh dalam kemiskinan karena tindakan-tindakan penindasan ”kelas atas, para pemilik modal” terhadap mereka yang dikategorikan dalam ”kelas bawah, para buruh”. Agama pada titik ini dijadikan sebagai tempat perlindungan yang aman bagi penguasa untuk melanggengkan kekuasaan mereka; agama menjadi instrumen kekuasaan. Dengan kata lain, kemiskinan itu disebabkan oleh struktur-struktur ekonomi masyarakat yang menindas, yang diciptakan oleh para kapitalis demi memperbesar modal mereka.
Berhadapan dengan struktur-struktur yang menindas dan memiskinan itu, orang tidak bisa berbuat lain kecuali pasrah dan akhirnya bersimpuh di hadapan Tuhan yang diciptakannya sendiri. Inilah yang disebut oleh Marx sebagai alienasi bahwa dalam agama alienasi itu terjadi karena manusia tunduk dan berada di bawah entitas suci yang diciptakannya sendiri. Dengan menciptakan Tuhan, dengan sendirinya manusia merendahkan martabatnya sendiri sehingga ia semakin asing dengan dirinya sendiri. Dengan demikian, agama tidak lain adalah instrumen penindas yang diciptakan manusia sendiri.
Berangkat dari perihal di atas, Marx kemudian menjelaskan bagaimana usaha agama untuk melestarikan diri. Agar tetap exist, agama akan melanggengkan kemiskinan, kesengsaraan, dan perbudakan. Sehingga baginya agama hanya akan berakhir ketika kondisi-kondisi yang diperlukan untuk survivenya –kesengsaraan, kekuasaan kelas, eksploitasi komoditas- dihilangkan. Lalu muncul pertanyaan mengapa setiap masyarakat mempunyai agama? Tanggapan Marx bahwa agama mendukung dan melayani kepentingan tertentu yang terkait dengan dominasi kelas dan penundukan kelas. Dia menyebutkan bahwa agama dari sudut sosialitasnya adalah rengekan golongan masyarakat yang tertindas.




B. Agama dan keterasingan Manusia
Marx sendiri meyakini bahwa masyarakat kapitalistik memang menawarkan terjadinya realisasi diri manusia, tetapi hal itu hanya terjadi bagi segelintir orang dan bukan bagi seluruh masyarakat. Marx kemudian menawarkan apa yang disebut dengan masyarakat komunis bahwa dalam masyarakat komunis setiap inidividu akan menikmati kehidupan yang aktif, kaya, dan bermakna; kendati hal itu berkait dengan hidup bersama, akan tetapi realisasi diri tetap dimungkinkan.
Marx juga mengatakan bahwa dalam agama tidak ada bentuk realisasi diri yang sesungguhnya. Hal itu terjadi karena di dalam agama, manusia hanya boleh tunduk dan tidak terbuka bagi dialog yang memberikan kemungkinan bagi setiap individu untuk mengekspresikan dirinya. Agama tidak mengembangkan jati diri manusia secara utuh, karena manusia hanya tergantung pada otoritas semu yang diciptakannya sendiri. Menurut Marx, agama yang hanya mampu menghukum pemeluknya adalah agama ciptaan kaum kapitalis untuk menindas orang-orang kecil dengan doktrin-doktrin kesalehan. Di dalam doktrin itu orang diharuskan hidup saleh dengan olah tapa yang berat dan menerima penderitaan dengan sukarela agar dapat memperoleh kemenangan di surga. Pada titik ini, Marx melihat bahwa hal tersebut hanya merupakan ciptaan masyarakat, ciptaan penguasa, untuk memperkuat hegemoni dan melanggengkan kekuasaannya terhadap masyarakat kecil yang dipimpinnya. Dengan demikian menjadi jelas bahwa bagi Marx, dalam tindakan serta praksis keagamaan semacam itu memungkinkan orang tergantung pada ciptaannya sendiri. Manusia tidak lagi otonom. Manusia dalam agama hanyalah orang-orang yang takluk di bawah otoritas orang yang lebih berkuasa daripadanya.
Lepas dari kritik terhadap gagasan Marx tentang agama sebagai proyeksi manusia belaka, menurut saya teori Marx tentang agama mengandung kebenaran. Kebenaran terori Marx terletak pada sifat menghibur, menyemangati dan memotivasi yang ada pada agama. Jika, menurut Marx, agama adalah proyeksi manusia yang mencari penghiburan dari kenyataan hidup yang represif maka dapat dikatakan agama sebagai tempat pelarian itu bersifat menghibur dan menyemangati kembali manusia yang mengalami keterpurukan nasib, bahkan andaipun penghiburan itu hanya ilusi dan tidak nyata.
Misalnya gerakan keagamaan di India. Gerakan keagamaan yang terjadi di India pada masa pra penjajahan Inggris dan pasca penjajahan Inggris merupakan perwujudan dari protes masyarakat kasta rendah atas ketidakadilan struktural yang disebabkan oleh sistem kasta. Gerakan keagamaan yang menuntut perubahan keadaan, khususnya terhadap sistem kasta, muncul sebagai penyimpulan artikulasi kepentingan kelompok kasta rendah yang menghendaki kesetaraan status sosial. Keadaan mayoritas masyarakat yang direpresi oleh elit kecil dalam masyarakat mendorong mayoritas masyarakat untuk ‘melarikan diri’ dalam gerakan keagamaan yang menghibur dan memberi harapan. Akan tetapi tidak seperti teori Marx. ‘Pelarian ke dalam agama’ tersebut tidak memperlemah masyarakat India pada waktu itu untuk menghadapi kenyataan hidup yang pahit. Pelarian pada agama justru menguatkan mereka untuk berjuang. Inilah kekecualian yang tidak dilihat oleh Marx dalam teorinya.
Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa agama di satu sisi, agama menurut analisa Marx, dapat secara terus menerus ‘mengamankan’ kelompok masyarakat kelas atas dan tidak mendatangkan perubahan sosial, sebab agama hanya melanggengkan kekuasaan masyarakat kelas atas. Dapatlah dikatakan bahwa dalam agama yang terus ‘menidurkan’ masyarakat kelas bawah tidak akan terjadi perubahan sosial. Hemat saya, yang dituntut atau yang menandakan adanya perubahan sosial adalah suatu kondisi kehidupan masyarakat di mana ada kesetaraan dan perubahan nasib serta tatanan hidup para anggotanya. Sementara itu, di sisi lain, struktur yang dibentuk oleh agama dapat pula melahirkan kesadaran akan ketertindasan dan memunculkan gerakan untuk memberontak atau melakukan perubahan terhadap struktur masyarakat yang tidak adil. Pendobrakan terhadap struktur dan tatanan masyarakat yang telah ‘mantap’ di tangan para penguasa memungkinkan suatu perubahan sosial.
Tidak hanya itu, pandangan Marx yang menyatakan bahwa agama melanggengkan hegemoni kelas atas memiliki kelemahan. Fenomen yang ada dan justru terjadi dewasa ini adalah bahwa orang yang beragama turut berpatisipasi dan terjun langsung ke lapangan dan secara bersama berupaya menyelesaikan segala persoalan yang dihadapi masyarakat. Agama sungguh menjadi suatu realitas sosial, yang hidup dalam dunia real manusia, dan bersama dengan pemeluknya bergelut dengan kemelut real kemasyarakatan. Maksudnya bahwa agama sungguh berpijak pada dunia real, dengan kompleksitasnya. Di situlah agama tampil sebagai instrumen pembebasan dan bukan sebagai bagian dari penindasan yang mempermiskin dan mengasingkan manusia dari diri dan dunia realnya.
Anggapan bahwa agama dapat menjadi salah satu faktor yang memicu konflik dalam masyarakat ala Marx tidak seluruhnya benar, sebab pada dasarnya agama mengajarkan dan mewartakan perdamaian, kehidupan yang harmonis demi kebaikan bersama. Ini berarti bahwa agama memberikan sumbangan besar bagi masyarakat yang memungkinkan masyrakat tersebut dapat hidup secara baik serta berkembang dalam kedamaian. Dengan demikian, bila penghayatan ajaran agama dijalankan secara baik dan benar maka konflik maupun pertentangan sedapat mungkin dihindari dan tidak mungkin terjadi. Lebih dari itu, kebenaran yang diajarkan agama mendapat tempat perwujudan ajarannya pada dunia masyarakat yang real. Agama berupaya untuk menerjemahkan pandangannya dalam masyarakat yang nyata. Dari sinilah kesetaraan dan keharmonisan dapat terjadi asalkan para penganutnya mau dan setia melaksanakan ajaran agama dengan baik dan benar. Sehingga agama bukanlah menjadi instrumen penindas, alat pelanggeng kekuasaan, melainkan sebagai lembaga yang membangun dan menghidupkan masyarakat bersama menuju bonum commune.


1 komentar:

  1. uraian atau pemaparan yang bagus,hanyasja untuk judul lebih dipersempit ada pemfokusan masalah yang akan dibahas.

    BalasHapus